Oleh: Yoandha Audritama Ihza Kesuma (Wakil Presiden Mahasiswa BEM KBM UNIB)
Sudah sejauh mana cita-cita reformasi terwujud? Tentu jawabannya akan menjadi aksioma, bahwa tidak satupun cita-cita tersebut terwujud dengan berarti. Penembakan Trisakti, penghilangan orang secara paksa, kerusuhan Mei adalah bagian kecil dari rangkaian sejarah kelam republik untuk mentransformasikan dirinya. Jauh panggang dari api, apa yang dulu dicita-citakan sekarang seolah tak berarti.
Menjadi satu dari sekian banyak sebab terakumulasinya amarah rakyat terhadap rezim Soeharto adalah kuatnya nepotesime. Semua hal ditabrak Soeharto hanya demi kepentingan keluarga dan kolega. Fusi partai politik dengan dalih menciptakan stabilitas politik nasional, penerbitan Kepres yang berimplikasi pada keuntungan keluarga cendana dan kolega, hingga pengangkatan perwira miiter dalam jabatan sipil untuk merepresi lawan politik. Nepotisme yang mengakar ini pada akhirnya menjadikan masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah dan disusul upaya penggulingan paksa.
Situasi hari ini yang kita rasakan sebetulnya tidak berbeda dengan 26 tahun lalu khususnya dalam hal nepotisme. Presiden Jokowi hadir sebagai The New Soeharto. Namun bedanya, dizaman sekarang masyarakat sudah terjebak dalam pseudo reformasi. Situasi yang meninabobokan masyarakat atas glorifikasi keberhasilan reformasi.
Presiden Jokowi pernah hadir ditengah masyarakat sebagai representasi masyarakat kelas menengah dengan segala kesederhanaan dan stempel wong deso-nya. Masyarakat mengelu-elukan beliau sebagai pemimpin yang merakyat dengan gaya blusukan, gaya berbusana yang sederhana, atau masuk gorong-gorong. Anak-anak Jokowi dihadirkan dengan citra anak seorang presiden yang tak aji mumpung atas jabatan Bapaknya. Kaesang dengan usaha pisang gorengnya dan Gibran dengan usaha maratabaknya. Sungguh jadi role model kepemimpinan yang cukup baik kala itu ditengah hedonisme dan pembiasaan nepotisme dikalangan pejabat desa hingga pejabat pusat yang mengakar dinegeri ini.
Menuju akhir masa jabatan, seperti membalikkan telapak tangan. Presiden Jokowi berubah menjadi sosok Soeharto kemasan baru hanya dalam waktu satu tahun terakhir. Mulai dari isu penambahan masa jabatan tiga periode yang sempat diklarifikasinya bahwa tidak pernah ingin hingga pada akhirnya terkuak fakta bahwa Presiden Jokowi memang pernah meminta kepada Ketua Umum PDIP, Megawati untuk memperpanjang masa jabatannya namun ditolak. Seolah ini menjadi titik balik manuver politik seorang Presiden Jokowi. Manuver ini menjadi bentuk pengkhianatan terhadap reformasi.
“Bila tidak bisa saya yang memperpanjang jabatan, maka harus ada orang yang bisa saya kendalikan”. Kira-kira begitulah rasanya yang ada dalam benak pikiran Presiden Jokowi. Operasi cawe-cawe pun dimulai dengan menurunkan ambang batas minimum usia calon presiden dan wakil presiden. Melalui putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 hasrat politik Presiden Jokowi terpenuhi dengan bantuan iparnya yang merupakan seorang Ketua MK. Kerja kelompok ini terbukti dengan pencopotan Anwar Usman dari jabatannnya sebagai Ketua MK melalui putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena melanggar prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan. Putusan inilah yang kemudian mengakibatkan Anwar Usman tidak bisa terlibat dalam persidangan penyelesaian sengketa Pilpres 2024.
Nepotisme yang diperhalus dengan istilah cawe-cawe ini tidak berhenti sebatas itu, perjuangan seorang Ayah untuk memberikan pekerjaan pada anak terus berlanjut. Upaya terstruktur, sistematis, dan masif digencarkan. Akrobat politik ini bahkan jauh-jauh hari telah dilangsungkan bahkan sebelum masa kampanye dimulai dan kian menjadi memasuki masa kampaye. Mulai dari penggunaan fasilitas negara, meng-endorse capres, menggerakkan aparatur negara, mobilisasi bantuan sosial, hingga tidak memperdulikan segala instrumen hukum, nilai etika, dan demokrasi serta menutup telinga atas segala kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Semuanya digunakan untuk memuluskan jalan Gibran yang sebelumnya sudah diberi jatah sebagai Walikota. Hal demikian sangat jelas dibuktikan melalui film dokumenter karya Watchdoc berjudul Dirty Vote.
Tapi puncak komedi atas segala teatar yang dipertontonkan Presiden Jokowi bukan pada bagaimana skenarionya, namun pada penontonnya. Karena akan menjadi hal yang dapat diterima dengan logis ada manusia yang ingin mempertahakan kekuasaannya. Apapun motifnya. Namun hal yang sangat mengherankan adalah bagaimana mungkin mayoritas masyarakat yang dimasa lampau pernah menderita atas tradisi nepotisme malah tetap menerima dan bahkan membenarkan nepotisme yang dipertontonkan tanpa malu-malu; penuh ketelanjangan. Benarlah rasanya jika republik ini dikatakan sebagai republik pemaaf dan pelupa. Pemaaf atas individu yang tangannya berlumuran darah dimasa lampau dalam rentetan reformasi dan sekaligus pelupa juga atas segala perjuangan dan pengorbanan mewujudkan reformasi.
Paragraf diatas tidak bermaksud untuk menyalahkan rakyat atas pilihannya. Memilih secara prinsip tetap kita yakini sebagai hak individu yang tidak boleh dibenar atau salahkan. Namun kita harus melihat lebih jauh bahwa preferensi politik seseorang adalah hal yang dapat dipengaruhi. Dalam Journal of Government and Economics, Randall G. Holcombe mengatakan bahwa preferensi politik individu dapat dimanipulasi oleh elit politik karena dalam sistem politik pilihan yang diambil pemilih tidak dapat mempengaruhi hasil politik. Maksudnya pilihan politik inidividu tidak serta merta akan terpilih sesuai ekspekstasi pemilih. Hal inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh Partai Politik untuk memperebutkan endorse Presiden Jokowi.
Tulisan ini bukan karena termasuk dalam barisan sakit hari karena jagoannya kalah dalam berkompetisi. Tulisan ini ada karena keresahan atas segala situasi yang terjadi di momentum 26 tahun pasca reformasi. Saya tidak tau harus berkata apa bila dipertemukan pada mereka yang mati karena memperjuangakan reformasi. Seolah perjuangan, kerusuhan, hingga nyawa yang melayang dalam merebut reformasi yang sekarang hanya menjadi delusi tak punya arti. Kalaulah para korban 98 tahu pada akhirnya akan demikian, tak salah rasanya kita berprasangka mereka sekarang mati dalam bayang-bayang penyesalan musabab memperjuangakan hal yang dikemudian hari terulang dan dinormalisasi.