Ada Apa Dengan Minyak Goreng?

ilustrasi Migor

Oleh: Nelse Trivianita, SST – ASN di Fungsi Statistik Distribusi BPS Provinsi Bengkulu

Bengkulutoday.com - Sejak awal tahun 2022 minyak goreng menjadi topik hangat terutama di kalangan ibu-ibu. Bagaimana tidak, di awal tahun 2022 masyarakat dikagetkan dengan lonjakan harga minyak goreng. Pada awal Januari lalu, harga minyak goreng di pasaran bisa menyentuh Rp 19.000 sampai dengan Rp 24.000 per liter, tergantung kemasannya. Kemudian pemerintah melakukan intervensi dengan memberikan subsidi pada minyak goreng sehingga harga minyak goreng menjadi turun kembali. Pemerintah juga memperbarui harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan kemasan premium. Sejak saat itu, minyak goreng semakin hari semakin punah hingga akhirnya langka.

Berbicara tentang minyak goreng, Di Indonesia minyak goreng yang paling sering digunakan adalah Minyak Goreng Sawit (Refined Bleached Deodourised Olein/RDBO). Kondisi ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara penghasil sawit, serta minyak ini juga cukup ideal dari segi harga dan ketersediaan. Menurut Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam “Profil Komoditas Minyak Goreng”, Minyak Goreng Sawit memiliki banyak keunggulan dibanding jenis-jenis minyak lain dan cocok dengan kebiasaan menggoreng masyarakat Indonesia.

Saat ini konsumsi Minyak Goreng Sawit meningkat, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Menurut Kemendag, hal ini disebabkan tumbuhnya industri jasa boga dan perubahan gaya hidup masyarakat yang didukung oleh perbaikan tingkat ekonomi. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), konsumsi minyak sawit dalam negeri pada 2021 mencapai 18.422 juta ton atau naik 6 persen dibanding konsumsi tahun 2020 sebesar 17.349 juta ton. Adapun konsumsi minyak sawit untuk pangan naik 6 persen, oleokimia naik 25 persen, dan biodiesel naik 2 persen dari konsumsi tahun 2020. Berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dilihat bahwa perkembangan rata-rata konsumsi minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga di Indonesia selama periode 2015-2020 mengalami peningkatan sebesar 2,32 persen per tahun.

Sayangnya, peningkatan konsumsi minyak goreng sawit tidak beriringan dengan peningkatan produktivitas kelapa sawit. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan dikutip dari majalah Ekonomi Bisnis, justru menurun. Berdasarkan data dari GAPKI, Produksi CPO di Indonesia sendiri terus menurun sejak tahun 2019. Pada 2021, produksi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mencapai 46.888 juta ton. Angka itu turun 0,31 persen dibanding produksi pada 2020 yang mencapai 47.034 juta ton.

Menurut teori ekonomi, jika permintaan (demand) naik dan ketersediaan barang (supply) tidak berubah maka kelangkaan barang akan terjadi dan harga akan naik. Jika permintaan (demand) tetap dan ketersediaan barang (supply) turun maka kelangkaan barang akan terjadi dan harga akan naik. Sedangkan untuk masalah minyak yang terjadi adalah permintaan (demand) naik dan ketersediaan barang (supply) menurun sehingga terjadilah kondisi seperti saat ini. Fluktuasi harga minyak goreng ini dapat kita lihat dari Indeks BU RT yang dikembangkan oleh Center for Indonesian Policy Studies, yaitu indeks yang digunakan untuk untuk mengamati perkembangan harga bahan makanan pokok yang dikonsumsi di Indonesia. Indeks BU RT mencatat kenaikan harga minyak goreng sebesar 56% antara Maret sampai Desember 2021 dan harganya sempat mencapai Rp 20.667/liter pada bulan Desember. Walaupun harganya sempat turun pada Januari 2022 menjadi Rp 19.555/liter, harga tersebut tetap tergolong mahal karena masih 46,2% lebih tinggi dari harga pada Januari 2021.

Pergejolakan harga minyak goreng tentunya memiliki dampak yang tidak sedikit, salah satunya terhadap perekonomian. Berdasarkan data BPS, Pada Januari 2022 di Indonesia terjadi inflasi sebesar 0,56 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,26. Inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, salah satunya yaitu: kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 1,17 persen. Adapun andil/sumbangan inflasi dari kelompok makanan, minuman dan tembakau ini sebesar 0,30 persen dan salah satu komoditas yang mengalami kenaikan harga pada Januari 2022 adalah minyak goreng. Selanjutnya, Pada Februari 2022 di Indonesia terjadi deflasi sebesar 0,02 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,24. Deflasi ini terjadi karena adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya beberapa indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,84 persen. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi satu-satunya kelompok yang memberikan andil/sumbangan deflasi yaitu sebesar 0,22 persen dan minyak goreng adalah salah satu komoditas yang mengalami penurunan harga akibat adanya kebijakan dari pemerintah.

Untuk mengendalikan kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, pemerintah telah merespons dengan beberapa instrumen kebijakan. Kebijakan tersebut antara lain termasuk subsidi minyak goreng, domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang mewajibkan eksportir CPO menjual 20% volume ekspornya untuk konsumsi dalam negeri dengan harga Rp 9.300/kg, dan penetapan harga eceran tertinggi (HET) Namun, kebijakan yang diambil bersifat jangka pendek dan masih belum menyelesaikan masalah di semua kalangan. Permasalahan minyak goreng saat ini seperti buah simalakama, bila harga minyak goreng rendah maka penjual rugi sedangkan bila harga minyak goreng mahal maka rakyat kecil yang kesusahan. Pemerintah perlu berhati-hati dan mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil kebijakan karena memiliki dampak yang cukup komplikatif.