"Anak Kita Sudah Dewasa"

Ilustrasi

Lampu-lampu berwarna kuning bergelantungan di udara, menghias sekaligus menerangi tongkrongan out door pertama di kota ini.

Malam ini Siti sangat sibuk di tempat kerjanya. Sebagai barista di cafe terkenal di kotanya, malam ini dia kebanjiran orderan, sampai-sampai bosnya turun tangan membantu. Malam yang sangat membanggakan, karena tamu-tamu ini adalah orang-orang berpengaruh di beberapa bank, dan membawa tamu-tamu mereka dari banyak provinsi, hanya untuk menikmati kopi andalan cafe tempat dia bekerja. 

Setelah beres-beres, dia segera pulang ke kosan.

Pagi yang cerah dimusim kemarau. Siti dengan riang mengendarai motor meticnya di jalan bebatuan yg sudah terkelupas dari ikatannya. Sesekali ban motor siti tergelincir, tapi tidak membuat siti dan motornya terjatuh. Jalan ini sudah sangat akrab baginya. 

Siti pulang ke kampungnya. Kampung pedalaman yang hampir tidak dibangun oleh pemerintahnya, padahal jalan ini di lalui setiap hari oleh pak camat ketika pergi ke kantornya, yang berkelang tiga desa setelah desa siti, desa Batu Beriang.

Ketika hampir memasuki jembatan, Siti berpapasan dengan beberapa orang kampungnya keluar dari jalan setapak, menggendong 'kijing' berisi buah durian yang disusun hingga melewati kepala.

Siti menghentikan sejenak motornya. Mengambil moment untuk menyapa penduduk desa. 

"Assalamualaikum.... " Sapa siti. 

"Waalaikumsalam... " Hampir serentak jawaban salam ini. 

"Belek ko siti? " Salah seorang dari mereka lebih dulu menyapa Siti, sambil menurunkan bawaanya ke tanah. 

"Iya bi, kebetulan hari libur kuliah dan kerja, juga rindu dengan 'kumu-kumu' semua." Jawab Siti sambil turun dari motornya. 

"Bahagianya Upik punya anak berbakti sepertimu Siti. Tidak seperti anakku, setiap minggu hanya menelpon dan minta dikirimkan uang, tanpa menanyakan kabar kami di rumah... " 

Seorang ibu mengucapkan kalimat ini dengan pandangan nelangsa, sambil mengipas-ngipas lehernya dengan ujung kain yang dijadikannya sebagai tali 'kijing".

Setelah bercengkrama sejenak dengan para penduduk desa yang membawa hasil 'nunggu durian' tadi malam, Siti berpamitan untuk segera pulang dan menemui Upik, sang ibu terkasih.

Perlahan-lahan Siti mengendarai motornya di jalan bebatuan yang siap menjatuhkan siapa saja. Memasuki jembatan yang masih lumayan bagus, lalu kembali 'menikmati' jalan yang sangat tidak layak, hingga ke depan rumahnya. Sebuah rumah panggung yang sangat sederhana.

"Assalamualaikum mak... " 

"Waalaikumsalam... " Jawab wanita hampir 40an ini. Dia buru-buru keluar ketika mendengar suara motor Siti. 

Siti membawa oleh-oleh yang sudah dia persiapkan dari kota tadi pagi. Sesampai di dalam dia langsung membawa ibu nya duduk di kursi peninggalan almarhum kakeknya, dan membongkar oleh-oleh yang sudah dia bungkus. Ada 3 bungkus oleh-oleh, yang paling besar diserahkan pada ibunya. 

"Ayo mak dibuka... " Pinta Siti pada ibunya. 

Dengan mata yang berkaca-kaca, Upik membuka dengan hati-hati, dengan rasa masygul, dia perlahan-lahan membuka lipatan Kebaya modern warna hijau, lengkap dengan kain batik hitam yang motifnya juga warna hijau. 

"Ini mahal sekali nak.... "

"Untuk mak, tidak ada yang mahal. Alhamdulillah gajian tadi malam ada bonusnya mak. Dan bonus itu Siti belikan kebaya ini untuk mak. Nanti pas pesta Fatimah, mak pakai ya."

Yang namanya perempuan, entah desa, kota, miskin atau kaya, tetap saja naluri mereka untuk dandan itu ada. Tidak terkecuali Upik dan Siti. Keduanya sibuk mematut-matutkan diri di depan cermin yang sudah buram sambil senyam-senyum bahagia... 

Malam bulan purnama di desa ini masihlah sangat indah. Kunang-kunang beterbangan, anak-anak memainkan permainan kampung yang entah sejak kapan dimulainya, dan muda-mudi bercengkrama di 'pato-pato' depan rumah dan diterangi oleh lampu listrik sekaligus sebagai penerang jalan. 

Siti mendekati seorang pemuda yang duduk di pato tidak jauh dari rumah Siti. 

Pemuda itu duduk melamun. Sepertinya dia mengalami luka batin yang sangat dalam. Siti langsung duduk di sampingnya. Lama mereka terdiam. 

"Aku tidak menyalahkan dia, Siti, tidak sama sekali."

Siti tidak kaget. Dia tidak berusaha menimpali kalimat pemuda itu. 

"Nasib dan takdir tidak berpihak pada kami." Lanjutnya. Hening sesaat

"Aku menghormati keputusan kedua orang tuanya. Aku sadar betul, mereka tidak menginginkan kami menderita. Tidak mungkin Fatimah yang berpendidikan dan manja akan bahagia hidup denganku dengan cara kita kampung." 

Pemuda itu adalah Yazid, sahabat Siti dan Fatimah sejak kecil. Wajahnya menunduk dan ujung jari-jari kakinya memainkan tanah yang ada bawah telapak kakinya. 

Sejak mengetahui Fatimah akan dijodohkan dengan pemuda tetangga desa, Yazid merasa ada sesuatu di lubuk hati dan sanubarinya yang membuat batinnya tersiksa. Jiwanya terluka. Hatinya hampa, dan kehilangan gairah kehidupan. 

Selain Fatimah dan Siti, tidak ada yang tahu, kalau dia pernah menyatakan perasaannya pada gadis anak pemuka adat di desanya. Bahkan hingga detik ini. 

"Zid, nih aku bawakan oleh-oleh buatmu. Nanti pakai ya waktu acara pesta Fatimah. "

Siti memberikan bingkisan yang sedari tadi dia bawa. Selain utk ibunya, dia juga membeli oleh-oleh untuk dua sahabat baiknya. Tiga orang yang sangat berarti bagi dirinya. 

"Kamu pasti semkin gagah dan ganteng nanti. "

Yazid menerima bingkisan tersebut dengan gembira, sudah mulai hilang mendung di wajahnya tadi.

Memang pada dasarnya, dia hanya menyampaikan apa yang dia rasakan terhadap pernikahan Fatimah. Karena Fatimah telah menyampaikan waktu dia menyatakan perasaannya, bahwa dia telah diikat perjodohan oleh orang tuanya sejak lama, dengan anak sahabat dekat bapaknya, makanya dia mulai membiasakan diri untuk membujuk perasaannya terhadap Fatimah. 

Yazid membuka bingkisan di tangannya dan segera bangkit ketika tahu isinya. 

"Aku pulang dulu. Tidak sabar mau mencoba hadiahmu ini. " Dan segera melangkah meninggalkan Siti yang melongo, tidak percaya dengan sikap Yazid barusan. 

"Kamu jangan pulang dulu. Aku akan segera kembali! " Teriak Yazid. 

"Iya, jangan terlalu lama! " Balas Siti sedikit mengeraskan suaranya. 

Di dalam rumah, Yazid segera masuk kamar, tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang sedang duduk di kursi, di beranda. Kedua orang tua ini saling memandang, mencoba menyelami apa isi hati masing-masing. Tidak lama kemudian, ayah Yazid bangkit menuju kamar Yazid yg tertutup, dan mengetuknya.

"Boleh bak masuk nak? "

"Masuk saja bak," Sahut Yazid dari dalam. 

Ayah Yazid membuka pintu. Dia tidak segera masuk dan mengamati sejenak anaknya. Tidak lama kemudian, dia menghampiri. 

"Anak bujang bak ganteng sangat. Baju dan celana baru? "

"Iya bak, hadiah Siti dari kota."

"Sepertinya mahal, dan warnanya cocok denganmu"

Yazid tidak menjawab. Dia hanya memandang wajah ayahnya dari cermin. Sang ayah juga memandang wajah anaknya, juga di cermin. Orang tua ini melihat ada perubahan dari air muka itu. Sangat berbeda dari beberapa bulan ini. 

"Zid, jangan lama-lama." Teriakan Siti terdengar oleh Yazid dan ayahnya. 

Dua laki-laki ini saling berpandangan. 

"Iya, sebentar lagi." Jawab Yazid agak keras, agar suaranya di dengar oleh Siti di pato tempat mereka duduk tadi. 

Yazid memandang pada ayahnya yang masih melihatnya. Isyarat agar ayahnya segera keluar. Yazid ingin berganti pakaian. 

Tapi orang tua ini pura-pura tidak tahu maksud anaknya. Dia ingin menggoda Yazid. 

"Bak, Siti sudah menungguku."

"Trus...? "

"Aku mau ganti baju."

"Lalu? "

"Bak keluar dong."

"Kenapa?"

"Masa aku telanjang di depan bak?"

"Kenapa?"

"Mak, panggil bak dong, masa bak mau melihat aku ganti baju... " Suaranya agak dikeraskan. Supaya di dengar oleh ibunya di ruang depan. 

"Mak tidak dengar," Jawab ibunya. 

"Uuuuhhhh... Gak bak, gak mak, sama saja," Yazid menggerutu. 

Dia terpaksa berganti baju di depan ayahnya. Ayah Yazid memandang tubuh anaknya. 

"Ah, anakku sudah dewasa" Batinnya. 

"Bak, aku keluar dulu. Siti sudah terlalu lama sendirian." Yazid segera keluar dan meninggalkan ayahnya yang masih merenung. 

Tidak lama Yazid pergi, orang tua ini bangkit dan melangkah pelan, dan duduk di kursi di samping istrinya. 

"Ternyata anak bungsu kita sudah dewasa, Mak. Terlalu cepat rasanya waktu ini. Sepertinya kita harus mempersiapkan diri kita untuk ditinggalkan." 

Ayah Yazid memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Dan istrinya menarik nafas dalam-dalam. Dan reflek tangannya meraih 'bokoa ibeun' dan mengambil 2 lembar daun sirih. Dia ingin makan sirih, padahal dia masih mengunyah sirih. Ketika sadar, dia perlahan mengalihkan pandangannya, memandang jauh ke bayang-bayang pepohonan di luar sana. 

Ada luka di hati mereka. Perih dan membuat tubuh mereka lunglai. Mereka belum siap jika anak bungsu mereka ini juga akan meninggalkan mereka.

*Bisri Mustofa, Cerpenis