Di Rejang Lebong, Masih Ada Warga Tak Miliki Fasilitas BAB

Ilustrasi (Sumber Foto: https://mutiaraindotv.com)

Oleh: Martha Maranatha Panjaitan, S.Tr.Stat

Pandemi covid-19 memberikan dampak pada banyak aspek di kehidupan kita. Salah satunya adalah kita menyadari bahwa kebutuhan akan rumah, sanitasi dan lingkungan yang sehat sangat penting, karena sebagian besar waktu yang kita habiskan ada di rumah. Sebelum pandemi covid pun, kita sudah mengetahui bahwa sanitasi merupakan hal yang sangat penting. Dengan sanitasi yang baik maka akan menghindari masyarakat dari berbagai penyakit seperti diare, stunting, dll.  Kofi Annan, mantan Sekjen PBB pernah berkata, “We shall not defeat any of the infectious diseases that plague the developing world until we have also won the battle for safe drinking water, sanitation, and basic health care”. Yang artinya "Kita tidak akan mengalahkan penyakit menular yang menjangkiti negara berkembang sampai kita juga memenangkan pertempuran untuk mendapatkan air minum yang aman, sanitasi, dan perawatan kesehatan dasar." 

Begitu pentingnya sanitasi, sampai menjadi salah satu tujuan dari SDGs. Tujuan SDGs nomor 6 adalah Air Bersih dan Sanitasi Layak yaitu Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi yang Berkelanjutan untuk Semua. Hal ini juga sejalan dengan RPJMN 2020-2024 yaitu meningkatkan akses masyarakat secara bertahap terhadap perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau untuk mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Salah satu dari empat indikator akses rumah layak huni 2024 yaitu 90 persen akses sanitasi layak (fasilitas buang air besar pribadi/bersama, kloset leher angsa, pembuangan akhir tinja tangki septik/SPAL).

Lalu bagaimana dengan akses sanitasi layak di Kabupaten Rejang Lebong secara khususnya?

Fasilitas sanitasi rumah tangga diklasifikasikan layak, jika rumah tangga memiliki fasilitas tempat Buang Air Besar (BAB) yang digunakan sendiri atau bersama rumah tangga tertentu (terbatas) ataupun di MCK Komunal, menggunakan jenis kloset leher angsa, dan tempat pembuangan akhir tinja di tangki septik atau IPAL atau bisa juga di lubang tanah jika wilayah tempat tinggalnya di perdesaan. Konsep ini mengacu pada metadata SDGs. Sumber:  Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS.
Data hasil Susenas Maret 2020 menunjukkan bahwa akses terhadap sanitasi layak di Kabupaten Rejang Lebong adalah sebesar 70.02 persen. Hal ini lebih rendah dibandingkan  Provinsi Bengkulu yaitu sekitar  78.10 persen dan lebih rendah juga dibandingkan Indonesia (79.53 persen). Persentase akses terhadap sanitasi layak ini masih belum mencapai target RPJMN 2020-2024. Dimana target RPJMN 2020-2024 untuk sanitasi layak adalah sebesar 90 persen. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi kita, karena sanitasi yang buruk menimbulkan berbagai penyakit.

Mari kita lihat secara lebih rinci salah satu indikator dari sanitasi layak yaitu fasilitas tempat BAB. Berdasarkan data BPS (Susenas Maret 2020), pada tahun 2020 persentase rumah tangga di Kabupaten Rejang Lebong yang memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri sebanyak 83.02 persen, fasilitas buang air besar bersama ART rumah tangga tertentu 3.25 persen, fasilitas buang air besar umum/MCK komunal 3.29 persen dan tidak ada fasilitas 10.44 persen. 

Masih terdapat 10.44 persen rumah tangga di Kabupaten Rejang Lebong yang tidak memiliki fasilitas BAB pada tahun 2020. Persentase ini lebih besar dibandingkan rata-rata provinsi Bengkulu yang sebanyak 9.01 persen,  dan lebih tinggi daripada rata-rata persentase rumah tangga di Indonesia pada umumnya (6.08 persen rumah tangga). Target RPJMN 2020-2024 mengamanatkan nol persen Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Masih ada praktik buang air besar di tempat terbuka seperti sungai/sembarang tempat, perlu menjadi perhatian. Salah satu contohnya di Kecamatan Kota Padang dan Kecamatan Padang Ulak Tanding yang berada di Kabupaten Rejang Lebong, masih ada masyarakat yang buang air besar di sungai. Salah satu penyebabnya adalah masyarakat ekonomi ke bawah yang kurang mampu membangun fasilitas Buang Air Besar sendiri di rumah. Mereka masih menganggap bahwa ada kebutuhan yang lebih penting dibandingkan membangun fasilitas BAB sendiri, dan dikarenakan ada sungai di sekitar rumahnya, semakin memicu masyarakat untuk memanfaatkan sungai saja untuk fasilitas BABnya. Penyebab lainnya dikarenakan kebiasaan masyarakat setempat yang sudah terbiasa BAB di sungai sehingga mengganggap tidak perlu membangun fasilitas BAB sendiri.

BAB di sungai bukan merupakan sesuatu yang sehat, jika BAB di sungai maka akan mencemari sungai tersebut dan hal itu tentu kurang sehat juga untuk masyarakat yang menggunakan sungai tersebut untuk mandi, mencuci, dll. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi kita bersama. Pemerintah sudah melakukan penanganan yang baik, akan tetapi untuk daerah-daerah pedesaan perlu lebih diperhatikan lagi. Pemerintah mungkin bisa bekerja sama dengan pihak Puskesmas/bagian kesehatan masyarakat untuk melihat daerah mana yang belum memiliki fasilitas buang air besar, daerah mana yang masyarakatnya masih buang air besar di sungai atau di sembarang tempat. Pemerintah bersama dengan OPD terkait bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya sanitasi, mungkin juga pemerintah menyediakan WC Komunal untuk digunakan bagi masyarakat yang tidak memiliki fasilitas buang air besar.