Dugaan Permasalahan Tanah Seret Dua Oknum Penegak Hukum

dugaan mafia tanah

Bengkulu - Kasus mafia tanah di Bengkulu kembali mencuat. Ironisnya, pelaku yang terlibat diduga adalah oknum aparat penegak hukum di salah satu institusi.

Advokat Ana Tasya Pase SH kepada wartawan mengungkapkan bahwa dilaporkannya dua oknum APH itu lantaran terlibat dalam perkara tanah yang melibatkan kliennya, salah satu perusahaan swasta di Bengkulu. Perkara jual beli tanah itu sendiri sudah ada dalam penanganan Kepolisian.

"Jadi kita sudah melaporkan 2 oknum penegak hukum di Kota Bengkulu ini atas dugaan membekingi mafia tanah," kata Ana.

Diceritakan olehnya, perkara ini bermula saat kliennya membeli tanah dari seseorang pada tahun 2014 lalu dengan ukuran 4 meter x 80 meter. Hanya saja, tanah yang dibeli itu tidak ada dokumen atau surat-surat.

"Klien kami ini awam hukum, dia tidak tahu bahwa di Indonesia ada dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dalam jual beli tanah," ujar Ana.

Lalu pada tahun 2024, lanjut Ana, kliennya mendapat somasi dari Cindy Octavia, yang tak lain adalah pihak penjual tanah kepada kliennya di tahun 2014.

"Si terlapor ini bilang bahwa dia sudah mengukur ulang tanahnya. Saat pengukuran ulang, saat kita lihat foto-fotonya, bahwa terlapor yang pegang patok titik awal tanah, dimana tanah itu dia sendiri yang jual tanahnya kepada klien kami," bebernya.

"Jadi di dalam somasi itu disebut 50 meter persegi adalah tanah dia yang kita serobot. Lalu kami berusaha minta klarifikasi, tetapi tidak ada tanggapan. Akhirnya kami bikin LP di Polda," tuturnya.

Meski sudah resmi membuat laporan polisi, Ana mengatakan kliennya masih membuka ruang untuk berkomunikasi dan mempersilakan terlapor untuk mengukur ulang tanahnya. Kesempatan itu pun digunakan oleh terlapor.

Hanya saja, saat melakukan pengukuran ulang, ada oknum diduga penegak hukum ini datang ke lokasi. Terlapor, kata Ana, mengaku oknum tersebut masih ada hubungan kekerabatan dengan sang suami terlapor.

Setelah pengukuran ulang, ujar Ana, tanah yang dijual ke kliennya ternyata bukan bagian dari tanah terlapor. "Dan tidak ada surat-suratnya Waktu itu," ujar Ana.

Perkara pun bergulir di Polda Bengkulu. Dikatakan Ana, saat berkas perkara naik ke tahap selanjutnya, penyidik Kejaksaan meminta pihak kepolisian melengkapi berkas dan keterangan saksi ahli.

"Dari keterangan yang kami dapat, perkara ini adalah pidana. Namun baru-baru ini kami dapat info, kasus ini di-P19 dengan alasan ini perdata oleh pihak Kejaksaan," katanya.

Selain itu, kata Ana, pihaknya juga mendapat informasi jika pihak Kejaksaan memiliki surat keterangan tanah atas nama anak terlapor yang terbit pada tanggal 13 September 2024.

"Sedangkan pihak polisi tidak pernah memiliki SKT tersebut. Lalu dari mana  komunikasi mereka ini,?" tanya Ana.

Menurut Ana, dari hasil penelusurannya, dia menduga ada peran dari dua oknum penegak hukum dalam perkara ini.

"Jadi setelah kita telisik, bahwa kedua penegak hukum yang ini ada hubungan dengan keluarga terlapor," katanya.

"Kita sudah minta klarifikasi ke bersangkutan, untuk mengatakan bahwa mereka tetap buka pintu damai. Namun ketika kami akan membeli tanah yang sisa 150 juta rupiah tapi ditolak karena mereka minta lebih tinggi," kata Ana.