Elan Vital Perjuangan Pers Indonesia

M Ilham Gilang M.Pd

Oleh: M. Ilham Gilang, M.Pd (Dosen IAIN Bengkulu)

Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap tahun tepatnya tanggal 9 Februari, kemarin. HPN tahun ini mengangkat tema “Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers Sebagai Akselerator Perubahan”.  Suatu tema yang disesuaikan dengan kondisi yang tengah dihadapi bangsa. Pandemi, persoalan ekonomi, dan bagaimana tanggapannya bangsa ini terhadap perubahan ke depan. Tidaklah berlebihan mengamanahkan pers suatu tugas sebagai akselerator perubahan. Pers memang ahlinya dalam memetakan dan menyesuaikan diri dalam perubahan. Hal itu terekam dalam sejarah panjang pers di Indonesia yang bisa kita lacak eksistensinya.

Pers telah diuji zaman, bertahan, bertransformasi dan menjelma sebagai salah satu pilar demokrasi. Tetapi untuk ukuran usia, pers di Indonesia lebih tua dari sistem demokrasi di Indonesia, bahkan lebih tua dari Indonesia sendiri karena eksistensinya sudah ada sejak masa VOC. Menelusuri kembali jejak dunia pers di Indonesia seperti membuka penggalan kisah perjuangan bangsa Indonesia. Sebab dalam kerangka heuristik ilmu sejarah, surat kabar teridentifikasi sebagai salah satu sumber primer yang kedudukannya dapat disejajarkan dengan arsip. 

Pers memiliki posisi yang amat penting yang dulunya tidak saja bekerja sebagai media informasi tetapi juga berlaku sebagai alat perjuangan menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan. Ada suatu masa dimana pedang, panah, dan meriam digunakan sebagai alat peperangan melawan penjajahan sampai akhirnya ketimpangan kekuatan peralatan dan strategi perang melahirkan peralihan instrumen perlawanan melalui surat kabar. 

Sejarah Pers di Indonesia
Keberadaan pers di Indonesia dapat dilacak dari surat kabar pertama di Indonesia yaitu Bataviasche Nouvelles yang terbit pada tahun 1744. Surat kabar yang banyak memuat lembaran warta iklan dan bersifat non-politik itu dapat diterbitkan dengan seizin Gubernur Jendral Van Imhoff (Budi S, 2005: 25). Lalu mengikuti setelahnya beberapa surat kabar lain yang mengindari pemberitaan politik diantaranya Slompet Melajoe, Bianglala, Tjahaja Moelja, Tjaraka Woelanda dan Pemberita Betawie. Koran-koran tersebut di bawah kepemilikan orang Belanda dan Tionghoa, tidak satupun dari deretan surat kabar periode awal tersebut yang dimiliki orang pribumi. 

Keberadaan pers yang dimiliki orang Tionghoa diharapkan memberi kontribusi terhadap pemberitaan kepada dunia mengenai aktivitas kolonial di tanah air. Namun pada kenyataanya, pers dibawah orang Tionghoa tidak banyak membantu kaum pribumi dalam menyuarakan penindasan pemerintah kolonial. 

Memang pada mulanya, surat kabar lebih didorong oleh adanya hasrat kepentingan ekonomi atau untuk kepentingan dagang. Hal ini berlaku bukan saja pada pers yang dimiliki oleh orang Belanda, melainkan juga oleh orang Tionghoa. Kalaupun konten surat kabarnya diselingi pemberitaan isu politik, tetapi bukan yang berkaitan dengan persoalan politik di Hindia Belanda melainkan yang berasal dari perkembangan politik dinegeri asalnya (China). 

Kecenderungan itu berbanding lurus dengan nuansa kegiatan periklanan untuk kepentingan dagang yang mulai populer di Eropa dan menyebar ke Asia. Sedangkan surat kabar yang mengetengahkan persoalan politik dan persoalan sosial mulai muncul dan mengalami perkembangan pesat sejak awal abad 20 terutama setelah kaum pribumi mulai memimpin surat kabar di Hindia Belanda. 

Surat kabar pertama yang dimiliki oleh orang pribumi ialah Medan Priyai yang terbit pada tahun 1907. Pemiliknya ialah Raden Mas Djokomono/Tirtohadisoerja. Moto surat kabar tersebut ialah: Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O (Hindia Olanda) tempat akan memboeka soearanja anak-Hindia. Moto ini memberikan pesan dan semangat perlawanan kaum pribumi atau bumiputera terhadap kolonial Belanda melalui suara-suara pers.

Setelahnya mulai bermunculan berbagai surat kabar yang bernuansa sosial-politik lainnya dan menyuarakan anti-kolonialisme. Dengan demikian kelahiran pers bumiputera adalah suatu bentuk perlawanan kaum pribumi di Hindia Belanda, yang menjadikan pers sebagai corong perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.  

Semangat perlawanan terhadap kolonialisme menciptakan semacam karakteristik yang khas, yakni hampir semua tokoh pejuang kemerdekaan memiliki surat kabar dan memanfaatkannya sebagai instrumen untuk mengemukakan pemikiran, gagasan,  dan kritik.  Akhirnya pers di Hindia berkembang dan mulai menyentuh aspek-aspek sosial-politik seiring dengan tumbuhnya hasrat kaum pergerakan dalam memanifestasikan harapan dan cita-cita di Hindia Belanda. 

Kaitan antara pers dengan masalah-masalah kekuasaan bukanlah sesuatu yang mengherankan. Karena pers memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sikap dan pandangan politik pembacanya. Meskipun masih terbatas pada jangkauan antara kaum pergerakan dan pejabat pemerintah, akan tetapi dapat memberikan pengaruh bagi para pejabat pemerintah kolonial dan orang eropa yang berkunjung ke Hindia Belanda sehingga memberikan kesan tentang suara atau aspirasi kaum pribumi.  Keterbatasan pers bukan hanya dari minimnya jumlah pembaca, melainkan juga dalam hal kebebasan. Hal ini karena pemerintah kolonial mengontrol secara ketat pers di tanah air.   
Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang pada media dekade pertama awal abad 20 diperbaharui untuk menyesuaikan keadaan dalam negeri saat itu.  Dalam peraturan tadi, antara lain disebutkan bahwa sebelum diterbitkan, satu eksemplar dari semua karya cetak harus dikirimkan terlebih dahulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi, dan Algemeene Secretarie, bila ketentuan ini tidak dipatuhi/dipenuhi, karya cetak tadi bisa disita, bahkan bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat penyimpanan cetakan tersebut (P Swantoro, 1980: 145). Peraturan yang ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah kolonial ini menggambarkan suatu langkah antisipasi atas pengaruh pers dari kaum pribumi yang memiliki kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.  

Peraturan tentang pers sampai pada tahun 1920an dapat dibilang belum mengalami kontrol yang ketat  sampai persbreidel ordonantie diberlakukan (1931). Sebab peraturan tentang pers saat itu masih bersifat preventif sehingga tidaklah mengherankan apabila ditemukan banyak surat kabar berisi kecaman-kecaman keras terhadap pemerintah kolonial yang memberikan perlindungan kepentingan kaum pemodal Belanda. Kaum pemodal Belanda ini menanamkan investasi di Hindia Belanda untuk kepentingan eksploitasi minyak terutama di Sumatera dan Kalimantan. Ketika kondisi geopolitik di Kawasan Pasifik memanas dengan tampilnya Jepang sebagai raksasa industri dan militer di Asia, maka kepentingan kaum pemodal Belanda yang berada di Hindia menjadi terancam. 
Setelah Indonesia merdeka, pers banyak berafiliasi dengan sejumlah partai politik. Sehingga suaranya selalu diasosiasikan dengan kepentingan partai tertentu. Kontrol yang lebih ketat mungkin terjadi pada masa orde baru. Semua surat kabar pada masa itu tidak bisa dengan leluasa memuat pemberitaan. Terlebih apabila isinya bersebrangan dengan pemerintah, hampir pasti mengalami sensor ketat. 

Media Pers Vis a Vis Media Sosial
Dunia pers harus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman terutama ketika dunia digital semakin berkembang pesat. Keterlambatan dalam bertransformasi akan menggiring pada lenyapnya eksistensi suatu media masa. Media cetak menjadi pihak yang paling merasakan tergerusnya kemajuan teknologi. Satu per satu lembaga yang berbasis media cetak gulung tikar. Beberapa media mainstream melakukan adaptasi dan secara perlahan beralih ke media digital. 

Detikcom adalah pelopor media berbasis digital pertama di Indonesia yang menyadari manfaat praktis kemajuan teknologi. Tetapi langkah detikcom banyak diikuti oleh media berbasis online lainnya yang kian hari kian menjamur yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Kini tantangan yang dihadapi terletak pada sejauh mana pers di era digitali ini memiliki bangunan ekosistem yang baik sehingga mengalirkan informasi secara jernih. 

Arus penyebaran informasi yang tidak terbatas menyebabkan berbagai media berbasis digital berlomba-lomba memproduksi berita dan meyebarkannya melalui berbagai media sosial. Belakangan bahkan media sosial seolah mengambil peran dan memposisikan diri sebagai pers. Banjir informasi ini melahirkan nada frustasi yang mengkhawatirkan akan tergerusnya pers oleh media sosial yang umumnya dimotori oleh individu dengan jumlah pengikut yang banyak sering terdengar.

Suatu kekhawatiran yang beralasan, disaat para jurnalis tertatih memperoleh informasi yang akurat, mencerna dan menetapkan garis-garis pemberitaan sesuai kaidah jurnalistik, disaat yang sama telah terjadi kekacauan informasi yang diterima masyarakat dengan pemberitaan yang oleh budayawan Emha Ainun Nadjib/Cak Nun dilabeli informasi “sop buntut” alias tidak komprehensif melalui berbagai saluran. Hal tersebut berbanding lurus dengan banyaknya jumlah laporan penyebaran berita hoax yang terjadi akhir-akhir ini. Suatu kondisi yang tidak bisa dibiarkan, dan menyandarkan persoalan ini hanya pada aspek hukum adalah naif. 

Semua pihak harus mengayunkan langkah menjadi garda terdepan dalam perang melawan hoax. Kita harus meengingat bahawa dalam perjalanannya, pers pernah menjadi instrumen penting dalam melawan penjajahan, kemudian melawan sistem otoriter, dan sekarang tiba gilirannya bagi pers menunjukan diri bahwa mereka meneruskan perjuangan menjadi filterasi hoax dan gudangnya suplai berita jernih di tengah maraknya penyesatan informasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.