Evolusi Padang Baai

Pelabuhan Pulau Baai

Pelabuhan tua itu bernama Padang Baai. Dan sekarang kita lebih mengenalnya sebagai Pelabuhan Pulau Baai.

Di Pulau Sumatra juga terdapat bandar-bandar tempo dulu yang menarik disimak. Merujuk Atlas Pelabuhan-pelabuhan Bersejarah di Indonesia suntingan Endjat Djaenuderajat (2013), ditulis bahwa di pesisir barat Pulau Sumatra membujur dari arah barat laut ke tenggara, di sana terdapat pelabuhan Lamuri (Aceh), Barus, Sibolga, Tiku, Pariaman, Padang (Muaro dan Teluk Bayur), Bengkulu (Padang Baai), dan Lampung.

Beberapa di antara bandar tua itu kini telah mati, seiring dengan tidak diproduksinya lagi hasil hutan yang dahulu merupakan komoditas andalan bagi perdagangan di daerah tersebut. Sebagian lainnya masih tetap hidup dan berkembang hingga kini, antara lain, ialah pelabuhan Aceh, Sibolga, Padang (Teluk Bayur), Bengkulu (Padang Baai), dan Lampung.

Setelah berdiri menjadi provinsi, Bengkulu mulai melaksanakan program- program pembangunan daerah yang dirancang selaras dengan program pemerintah pusat yang merujuk pada program Repelita. Dalam perencanaan pembangunan Provinsi Bengkulu periode awal berdiri, sasaran pembangunan difokuskan pada upaya menata kehidupan ekonomi dengan melakukan program-program prioritas yaitu perbaikan sandang, pangan, memperluas lapangan kerja dan perbaikan sarana dan prasana pendukung gerak perekonomian.

Pada Pelita I program pemerintah dititikberatkan pada sektor pertanian untuk meningkatkan produksi beras serta perbaikan infrastruktur transportasi yang berguna untuk mendorong pemerataan pembangunan, mobilitas barang dan jasa serta pertumbuhan ekonomi.

Keadaan Bengkulu selama hampir 30 tahun setelah kemerdekaan merupakan daerah yang terisoliasi sehingga pembangunan daerah Bengkulu tertinggal dari daerah lain. Hal ini disebabkan oleh akses perhubungan darat yang terputus seperti jalan dan jembatan yang mengalami kerusakan berat akibat strategi bumi hangus pada masa perang revolusi. Dengan keadaan demikian, pembenahan sarana perhubungan baik darat, laut dan udara merupakan prioritas utama dalam program pembanguan daerah Bengkulu untuk mendukung kelancaran roda perekonomian.

Perbaikan dan pembangunan sarana perhubungan dilakukan dengan bertahap dan berkelanjutan. Dalam hal ini program peningkatan pembangunan infrastruktur perhubungan dibarengi dengan kebutuhan sarana dan prasarana tersebut untuk menunjang perkembangan ekonomi. Pada tahap Pelita I (1969-1974) program pokok pemerintah dititikberatkan pada peningkatan usaha pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pokok, maka pembangunan dan perbaikan sarana prasarana transportasi difokuskan pada jalan dan jembatan.

Selanjutnya, dalam program Pelita II (1974-1979) lebih menekankan pada pemerataan penduduk dan perluasan kesempatan kerja melalui transmigrasi, sedangkan pada Pelita III (1979–1984) kebijakan ekonomi diarahkan pada peningkatan ekspor dengan membuka sektor perkebunan dan pertambangan. Sejalan dengan kondisi ini maka dibutuhkan pembangunan sarana transportasi laut dan prasarananya dalam hal ini pelabuhan sebagai pintu gerbang ekspor impor barang dan mobilisasi orang. Di sinilah Bandar Padang Baai kemudian beralih nama menjadi Pelabuhan Pulau Baai.

Pelabuhan Pulau Baai merupakan pelabuhan samudera yang dibangun oleh pemerintah pusat yang direalisasikan pada Pelita III (1979–1984). Pembangunan pelabuhan ini sebenarnya telah diusulkan oleh pemerintah daerah jauh sebelum Bengkulu menjadi propinsi pada tahun 1968, namun pembangunannya baru dapat terealisasi pada tahun 1980. Pelabuhan Pulau Baai merupakan pelabuhan lama yang dibangun kembali menjadi pelabuhan samudera. Latar belakang pembangunan pelabuhan ini karena pada saat itu Pelabuhan Bengkulu Tapak Paderi yang menjadi pintu gerbang ekspor-impor di Bengkulu mengalami kendala operasional dan tidak dapat berfungsi optimal.

Pelabuhan Pulau Baai terletak di Teluk Pulau atau lebih dikenal Teluk Selebar yang dahulu merupakan pintu masuk kapal-kapal asing yang ingin menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Silebar.

Komoditi perdagangan utama daerah Bengkulu (Silebar) adalah lada. Daerah Bengkulu (Silebar) terkenal sebagai penghasil dan pemasok lada karena Kerajaan Silebar telah menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Banten yang pada saat itu pelabuhannya menjadi bandar perdagangan yang ramai. Perkembangan pelabuhan Banten menjadi bandar dagang pada masa pelayaran dan perdagangan niaga abad ke 16 berdampak positif bagi daerah Bengkulu menjadi terkenal sebagai daerah penghasil lada. Hal inilah yang menjadi daya tarik kerajaan-kerajaan besar seperti Kerajaan Aceh, Kerajaan Indrapura dan bangsa Barat (kolonial Inggris dan Belanda) untuk datang dan berusaha memonopoli perdagangan lada di Bengkulu.

Pada masa Orde Baru, pelabuhan lama Kerajaan Silebar ini direvitalisasi menjadi pelabuhan samudera untuk menunjang aktivitas ekspor-impor di Provinsi Bengkulu dan memperlancar arus ekspor hasil produksi daerah belakang (hinterland). Pembangunan Pelabuhan Pulau Baai direalisasikan pada Pelita III (1979-1984) sejalan dengan pembangunan ekonomi pada Pelita III yang menitikberatkan pada peningkatan ekspor baik dari sektor non migas. Selain itu program transmigrasi yang dimulai pada Pelita II menjadikan Bengkulu salah satu daerah tujuan transmigrasi juga turut mendukung dibangun sebuah pelabuhan yang berperan sebagai pintu gerbang arus masuk para transmigrasi ke daerah Bengkulu.

Secara geografis, Pelabuhan Pulau Baai sangat strategis dan terbuka untuk perdagangan dalam negeri dan luar negeri karena berada di pantai barat Sumatera dan langsung berhadapan dengan Samudera Indonesia. Selain itu keberadaan pelabuhan Pulau Baai juga didukung dengan daerah hinterland yang potensial, terutama komoditi pertambangan, perkebunan dan pertanian. Dengan adanya potensi daerah yang memadai serta didukung oleh pelabuhan sebagai salah satu infrastruktur penggerak perekonomian, maka pembangunan pelabuhan menjadi sangat penting guna menarik investor untuk menanamkan modal.

Pelabuhan Pulau Baai setelah resmi mulai beroperasi pada tahun 1984. Perkembangan pelabuhan mengalami kemajuan yang pesat karena didukung oleh hasil-hasil produksi dari daerah belakang yang meningkat dan membutuhkan pendistribusian melalui pelabuhan. Gerak aktivitas pelabuhan semakin mengeliat didorong oleh hasil produksi perkebunan yang diusahakan oleh rakyat dan pemerintah berupa karet dan kopi yang semakin meningkat. Aktivitas ekspor dari
sektor perkebunan mulai menunjukan kemajuan yang berarti pada Tahun 1991 dengan berhasil menyalurkan ekspor perdana langsung ke Amerika Serikat berupa hasil produksi karet.

Selain itu pertambangan batubara yang mulai dieksplorasi pada Pelita III telah berproduksi dan menjadi komoditi ekspor andalan daerah Bengkulu yang setiap tahun mengalami peningkatan permintaan. Selain itu dari sektor perkebunan ekspor andalan dari Propinsi Bengkulu yang didistribusikan melalui Pelabuhan Pulau Baai adalah karet dan Crude Palm Oil (CPO).

Dalam perkembangan selanjutnya sampai akhir Tahun 2000, pelabuhan ini mengalami pasang surut akibat kendala operasional yang menyebabkan semakin menurun aktivitas pelabuhan dan komoditas ekspor yang didistribusikan melalui pelabuhan. Kendala operasional yang dihadapi Pelabuhan Pulau Baai adalah masalah kondisi fisik alur pelayaran yang sangat dipengaruhi oleh sedimentasi di mulut alur masuk. Pendangkalan yang terjadi di alur masuk pelabuhan menghambat kapal-kapal yang akan masuk ke pelabuhan sehingga aktivitas bongkar-muat dari kapal-kapal besar tidak dapat dilakukan di dermaga, tetapi menggunakan tongkang.

Meskipun Pelabuhan Pulau Baai sempat mengalami kendala opersional akibat sedimentasi yang tinggi, namun aktivitas pelabuhan terus meningkat sejak tahun 2000 dan mencapai puncak ekspor pada tahun 2018. Volume ekspor yang meningkat secara signifikan pada Tahun 2010 mencapai 2.052.155 ton merupakan pencapaian tertinggi dalam sejarah aktivitas ekspor di Pelabuhan Pulau Baai.

Uploader : Bisri Mustofa