Fatmawati : Sekedar Kata Merdeka

Cinta Fatimah dengan Bung Karno

Sebuah gubahan atas lahirnya bangsa Indonesia dari tangan ibu pertiwi.

Namaku Fatmawati, perempuan Bengkulu kelahiran 5 Februari 1923. Sejarah kemudian mencatatku sebagai orang yang paling penting di negeri ini. Seorang perempuan penjahit bendera pusaka merah putih, songsong kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dulu panggilanku adalah Fatimah, tetapi setelah beranjak dewasa, orang memanggilku Fatmawati. Saat masih seumuran dengan Ratna Djuami—anak angkat Soekarno, ia memperlakukanku sama dengan Ratna. Semasa remaja aku berniat melanjutkan sekolah di RK Volkshool, Bengkulu. Hassan Din, ayahku pun menitip ke Soekarno.

Jauh sebelum semuanya berlalu, menikah dengan orang nomor satu yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini adalah hal yang tak pernah kuduga. Aku hanyalah gadis biasa. Namun, cerita berkata lain saat Tuhan menghadirkanku pada garis takdir menuju pintu gerbang kejayaan Bumi Pertiwi, Soekarno datang mempersuntingku.

Memang kedekatan Soekarno dengan ayahku jauh melebihi kedekatan batin. Wajar jika kemudian ia memilih untuk lanjut merajut tali asa kepada keluarga kami.

Ia pria gagah, tampan, dan cerdik. Seringkali ia bertandang ke rumah untuk berguru kepada Ayah. Meski di setiap jejak sejarahnya kudengar, delapan nama perempuan telah menghiasi jalan cerita hidupnya. Namun, aku menganggapnya tetap spesial di antara pria yang kukenal setelah Ayah.

Saat-saat Soekarno tengah berjuang merebut kemerdekaan, aku setia mendampinginya. Momen penting yang tercatat bagaimana perjuanganku ini bukan berarti hanya sebagai seorang istri, teman atau sahabatnya, melainkan dimana aku harus memberi sebuah gagasan, membantunya menemukan jalan kemerdekaan berpikir, kemerdekaan bangsa ini, jauh dari kata terjajah bangsa-bangsa luar. Aku harus jadi seorang pionir.

**

Semuanya dimulai ketika kembali dari pengasingan di Bengkulu, Soekarno diberi rumah, berikut kendaraan sedan buick dan supirnya. Itu semua itu didapatkan dari Kepala propaganda Jepang, Shimizu. Dia adalah orang di balik pemberian rumah tersebut, yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.

Meski bagian dari propaganda, Shimizu memintaku menjahit bendera untuk kemerdekaan Indonesia, Sang Saka Merah Putih. Belum terpikir jauh. Aku hanya menuruti perintahnya, perintah Soekarno.

Persoalan kemudian timbul. Pada saat itu tekstil sangat langka. Aku bahkan kesulitan mendapatkan bahan kain untuk dijahitkan menjadi bendera merah putih. Namun, berkat usaha Shimizu, kemudian memerintahkan perwiranya untuk mendapatkan kain yang kubutuhkan. Alhasil, tugas itu berhasil ditunaikan sang perwira, dengan menemukan dua kain merah putih dari bahan katun halus, tentunya dengan kualitas terbaik.

Pada saat itu, aku tengah hamil tua jelang kelahiran Guruh. Sengaja kupaksakan diri menjahit bendera merah putih tersebut, karena apa pun itu, strategi Soekarno adalah sebuah jalan yang harus kuyakini ke mana arahnya.

Aku melaluinya selama dua hari, bermodalkan mesin jahit tua kepunyaan Ibu, aku berlahan-lahan menjahit bendera ukuran 2x3 meter tersebut. Perjuangannya memang cukup melelahkan, dikarenakan hamil tua.

Aku tetap bersabar, meneruskannya dengan pelan dan rapi. Butiran air mata jatuh berkali-kali di atas Sang Saka Merah Putih.

Kuhabiskan waktu menjahit bendera besar itu di ruang makan dengan kondisi fisik yang cukup rentan. Kujahit berangsur-angsur dengan mesin jahit singer yang dijalankan dengan tangan saja, karena sempat dilarang dokter menjahit menggunakan kaki. Maka, proses penjahitan hanya menggunakan tangan, dan memakan waktu yang kian lama.

Sampai akhirnya aku menyelesaikan di waktu yang tepat. Bendera inilah yang kemudian dikibarkan saat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, yang kemudian menjadi bendera pusaka Indonesia.

**

Terkait hubunganku dengan Soekarno, akhirnya kami sampai pada kisah cinta berliku-liku. Sebab, pada dekade 50-an, hubungan kami tampak merenggang.

Sampai dengan lahirnya Mohammad Guruh, tahun 1954, keluarga Presiden rukun dan kelihatan bahagia sekali. Akan tetapi, setelah pecah berita bahwa Sukarno akan menikah dengan Bu Hartini, hubungan antara kami serta keluarga kelihatan mulai tegang renggang. Hingga akhirnya aku harus memutuskan diri menepi, kembali pulang ke rumah di Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Aku dengan rendah hati berpamitan dengan Soekarno. Namun, Soekarno tak mengizinkannya.

"Di sini rumahmu," ucap Soekarno lirih.

Aku menanggapinya, "Di sini bukan rumahku, keadaan kita sekarang sudah lain.”

Lantas aku mengucapkan selamat tinggal secara persaudaraan tanpa rasa sakit dan permusuhan. Tidak ada keributan dan tak ada perkelahian. Setelah membaca bismillah, aku terus meninggalkan istana dengan perasaan tenang menuju Kebayoran Baru.

Hal ini kemudian membuat para pelayan istana termangu. Entah apa yang mereka pikirkan, aku tak tahu.

**

Menjadi anak seorang presiden, rupanya tidak bisa menjamin datangnya kebahagiaan, serta kesenangan dalam hidup begitu saja. Peristiwa menyedihkan datang silih berganti dalam kehidupan Guruh Soekarnoputra saat remaja—anak bungsu Soekarno.

Setelah kuputuskan angkat kaki dari Istana Merdeka, terdengar kabar bahwa ayahnya sakit. Kesehatan ayahnya makin hari makin memburuk. Lalu suatu hari sampai kabar bahwa Soekarno dalam keadaan kritis. Aku tetap tak mau menjenguknya. Namun, beberapa hari kemudian, kabar buruk itu menggetarkan kami juga rakyat Indonesia. Soekarno kembali ke hadapan Tuhan.

Beliau dimakamkan di Blitar, sesuai dengan sejumlah amanatnya sebelum wafat.

**

"Minggu, sekitar jam lima pagi aku dibangunkan Ibu dan diminta datang ke kamarnya. Waktu itu memang tinggal aku dan Ibu saja di rumah. Sedangkan Mbak Rahma dan Mbak Sukma mengontrak rumah di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. Sementara Mas Guntur tinggal di Bandung dan Mbak Megawati mengikuti suaminya ke Madiun,” tutur Guruh perlahan. Ia sedang mengingat kisahnya kepada temannya.

“Keadaan kritis. Aku masih ingat, saat itu di wajah Ibu tergambar kepasrahan yang sangat mendalam. Bahkan Ibu sempat berkata; jika nanti sampai pada saat yang paling buruk, kalian jangan bersedih. Kita harus rela dan jangan sekali-kali kalian menangis.

Sepertinya Ibu yakin benar bahwa Bapak tak akan lama lagi meninggalkan kami. Tentu saja aku kaget sekali mendengar berita itu. Bagaimana tidak, sehari sebelumnya sewaktu aku menengok Bapak ke rumah sakit, Bapak masih bisa membaca koran. Bahkan aku masih sempat meladeninya makan buah pepaya. Namun, tentu saja setiap kali aku dan kakak-kakakku pergi menengok Bapak, Ibu tak pernah ikut serta.” Tetes air mata Guruh tak tertahankan menceritakan hari-hari terakhirnya bersama Soekarno.

“Memang sepertinya antara Ibu dan Bapak telah ada suatu 'perjanjian' meskipun aku tak tahu persis apa isi perjanjian itu. Yang aku tahu persis, Ibu memang sama sekali tak mau bertemu muka dengan istri-istri Bapak,” ujar Guruh.

Aku terus menatap bayang luar jendela. Udara di sini begitu asri. Sama kurasakan seperti saat Soekarno meminangku. Udara kemerdekaan, bau basah bumi Indonesia, juga sepeda yang membawaku mengintari taman sore hari. Tak ingin rasanya kulupakan.

Ah, sudah. Indonesia sudah merdeka. Soekarno juga sudah merdeka jauh dari sebelum aku memutuskan pulang.

***

Bisri Mustofa, Bengkulu, 17 Agustus 2019