Gila Hormat Sama dengan Gila Beneran?

Muhammad Aufal Fresky

Opini, Bengkulutoday.com - Apa yang Anda bayangkan mendengar kata 'primitif'? Apakah mereka yang hidupnya lepas total dari teknologi komunikasi dan informasi? Tak mengenal mobil, pesawat terbang, internet, atau gedung-gedung pencakar langit? Sepertinya banyak yang beranggapan seperti itu. Meskipun saya sendiri tak bisa mengungkapkan secara detail lewat kumpulan angka. Tapi, saya sendiri mencoba memaknai primitif bukan dari apa yang ditunggangi, ditinggali, atau dikenakan. Namun lebih kepada pemikiran dan sikapnya.

Ya, banyak yang tak sadar bahwa gerak geriknya dan pola pikirnya sebenarnya masih jauh ke belakang. Tertinggal. Jumud kuadrat. Padahal, tak asing dengan beragam kemajuan zaman. Arloji, tas, HP, hingga baju dan celananya pun bermerek semua. Namun sayang seribu sayang, terkadang mereka berceloteh: "Aku keturunan raja, ulama keramat, mbah-mbahku sakti, dan sebagainya". Yang mendengarkan pun ngangguk-ngangguk penuh khidmat, diselimuti kepura-puraan karena tak ingin mengecewakan yang sedang 'berdongeng masa lalu'. Padahal kuping mereka 'panas', perutnya 'mual-mual' mendengar cerita kehebatan nenek moyang sang penutur.

Menceritakan kebesaran ayah, kakek, buyut, paman, atau keluarganya yang lain dengan tujuan membesarkan dirinya sendiri adalah bentuk primitif yang sebenarnya. Heran juga saya. Kenapa masih ada orang yang meremehkan orang lain karena tak punya status sosial di tengah masyarakat. Bukan golongan 'darah biru' misalnya. Padahal darah kita sama-sama merah. Darah hewan pun merah. Jangan-jangan, sebenarnya kita ini casingnya aja manusia, tindak-tanduknya tak jauh-jauh dari hewan. Oh tidak, bisa saja lebih parah. Sebab hewan hanya bergerak lewat nalurinya. Sementara, kita  punya hati dan akal. Tapi nyaris jarang digunakan.

Adu nasab hanya untuk membuktikan diri. Ingin diakui, dilihat, dan terakhir ingin dihormati. Keinginan untuk selalu menonjolkan diri inilah yang bisa merusak hati. Merasa tersinggung ketika direndahkan. Sakit hati ketika tak dianggap. Lebih parahnya lagi, mengaku-ngaku keturunan kiai hebat, habib hebat, jenderal hebat, atau raja hebat. Padahal palsu. Alias bualan kosong? Lantas apa tujuannya? Ya, apalagi kalau bukan pengaruh, duit, kekayaan, status sosial, dan sejenis itulah pokoknya. Dan orang-orang semacam itu ada saja pengikutnya. Diberikan panggung untuk menyampaikan nasihat-nasihat agama. Baru sadar ketika diporotin pelan-pelan. Baru sadar ketika ada jemaah yang kritis, cerdas, vokal, dan berani membongkar segala kepalsuan itu. 

Masih tentang gila hormat, Kartini pun menyindir dengan halus orang-orang yang bangga dan memamerkan gelar kebangsawanannya. Menurut dia, bangsawan hanya ada dua yaitu bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Artinya, tak ada guna membanggakan garis nasab. Kemuliaan seseorang terletak pada perangai mulia yang melekat padanya. Dilihat dari kebersihan hati dan kelembutan tutur katanya. Buat apa gelar bangsawan yang panjang seperti rel kereta jika ucapannya selalu menyakiti orang lain, selalu membuat kegaduhan, gemar adu domba, dan senang sumpah serapah. 

Lama-lama saya jadi berpikir, jangan-jangan orang di pinggir jalan yang kita anggap gila, justru lebih bersih hatinya. Lebih mulia di hadapan Allah. Mereka tak pernah ngomongin orang lain. Tak pernah Iri dan dengki dengan nikmat orang lain. Apalagi sampai ingin dihormati atau dimuliakan orang lain, tak ada di pikiran mereka. Jangan-jangan, orang-orang yang gila hormat itulah yang sebenarnya gila beneran? Entahlah. Mereka adu buyut bukan adu gagasan. Nenek moyang yang uda wafat ratusan tahun silam disebut-sebut hanya untuk citra diri. 

Hatinya mudah tersinggung jika namanya disebut tanpa gelar raden, bendoro, ning, nyai, gus, lora, ajengan, kiai, profesor, doktor, dan sejenisnya. Namanya juga gila hormat. Sudah terbiasa dipanggil dengan gelarnya. Biasa dimuliakan. Ada perubahan sedikit, hatinya terusik. Padahal, semakin kita rendah hati, selalu merasa di bawah orang lain, maka kita menjadi mulia di hadapan Allah. Bukankah kita ingin menjadi insan mulia dalam pandangan Sang Pencipta? Bukan dalam pandangan makhluk. Buat apa nama kita tenar dan dibanggakan manusia jika dihadapan Allah kita menjadi manusia hina. Semoga saja tidak. 

Sebenarnya, kitalah yang terlebih dahulu wajib menghargai dan menghormati orang lain. Kapan pun dan di mana pun kita berada. Jangan sebaliknya, hanya ingin dihargai dan dihormati. Pertanyaan kembali menyeruak: apakah gila hormat sama dengan gila beneran? Silakan pikir dan renungi sendiri. Sebab, ini adalah semacam tulisan reflektif untuk kita semua, terutama untuk saya pribadi selaku penulis.

*** 

Muhammad Aufal Fresky, Pengamat sosial dan budaya asal Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Pamekasan