Hi Cin ! Kusapa Indonesia Dari Bengkulu

Brama Milenia

KUSAPA Indonesia dari Bengkulu. Ingin kudiam, sebenarnya. Tapi naluri beda, tak mau terima, dan harus menulis. Tulisan tak resmi, tak akademis, hanya menggambar sebuah jujur hati, jujur hari pada kenyataan hari berhari. Indonesia, ah tentang apa ya?. Menulisku ini mewakili diriku saja, tak ingin mewakili yang lain, apalagi kelompok dia dan situ. 

Tentang masa depan, dan optimisme. Dibawah deru kalkulasi politik lawan dan lawan, lawan mereka bukan lawanku, sebab aku ingin berdamai dengan semua, semua keadaan. Ah, damai, kata yang tak populer dan terkesan biasa. Aku hanya ingin kembali menumbuhkan rindu. Rindu keadaan yang dulu. Seberat apa cobaan mendera, aku dan bangsaku tetap menyatu. Sebenarnya ini hanya soal waktu, kata mereka. Dan ada benarnya. 

Sesekali aku mengajak menyederhana saja. Tanpa pikuk, seandainya boleh memisah kata hiruk dan pikuk. Tapi kamus bahasa tak menyebut itu. Sederhana hanyalah soal memberi orang waktu menyela. Menyela apa saja tentang situasi. Dan kita senyum, senyum selalu penuh sahabat. Aku tak ingin sungguh mukaku berkerut, melihat selaan kamu, kalian. Sungguh aku tak ingin ribut. Aku ingin selalu memahamimu, kalian. Bahkan aku tak ingin menyindirmu, meski hanya dalam hati. 

Aku tak bersih-bersih amat. Hatiku juga ada benci, dengki dan iri. Namun tak kumunculkan dalam bentuknya yang asli, dan kuusaha sulap dia menjadi rindu, rindu suasana damai, sekali lagi, damai. 

Keadaan ini sangat tak baik. Dan aku adalah kader optimis. Mestasbihkan diri sendiri dalam bentuknya. Tanpa persetujuan siapa-siapa. Dan ini mungkin yang dikatakan orang sebagai peduli. Entah gimana jalan dan caranya, mewujud itu, damai. 

Aku ingin kita, kalian dan kamu saling manis. Manis bermuka dan berhati. Tanpa tendensi. 

Peduliku beda kadar dan bentuk dengan pedulimu. Namun ini usaha kecil. Bukan UMKM.

Peduli adalah optimisku. Keadaan ini akan dan bisa membaik. Menuju damai.

DARI Bengkulu aku menyapa Indonesia. Indonesiaku, Indonesiamu dan Indonesia kalian. Ayo, pedulimu. Gabung dengan peduliku, sehingga damai bukan imaji. Tapi pasti, dimulai dari peduliku dan pedulimu, kalian. 

Dan sebenarnya ini soal politik yang tidak gembira. Ini politik yang jadi drama. Drama yang dramatis, dan aku tak ingin menjadi kritis karenanya. Biar aku tetap begini, dengan peduliku. Ingin damai. (**)

NID Old
5399