Hidup Berdampingan dengan Masyarakat, Begini Kehidupan Jemaat Ahmadiyah di Rejang Lebong

Jemaat Ahmadiyah

PADA Oktober 1925, Maulana Rahmat tiba di Tapaktuan, Aceh. Kedatangannya ini menandai diletakkannya fondasi gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Maulana Rahmat sendiri menjalani tugas sebagai ulama di Indonesia hingga 1950. Setelah itu, Ahmadiyah terus menyebar ke seluruh Nusantara, termasuk Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Berikut liputannya.

BUYONO – REJANG LEBONG
Pada tahun 1956, Ahmadiyah masuk ke Rejang Lebong tepatnya di Desa Air Bening Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Ini adalah pusat pergerakan Ahmadiyah di Bengkulu, hingga akhirnya memiliki cabang di kawasan Sungai Hitam Kota Bengkulu.

Ali Muhayat selaku mubaligh atau penyuluh Ahmadiyah wilayah Rejang Lebong menyambut kedatangan kami di rumahnya yang berada persis di depan Mushalla tempat jemaat Ahmadiyah melakukan aktivitas peribadatan.
Sebuah karpet dibentang di ruang tamu rumahnya dan kami dipersilahkan duduk, ia menyambut kami dengan ramah. Setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangan kami, Ali mulai menceritakan bagaimana Ahmadiyah masuk ke Rejang Lebong dan kondisinya saat ini.

Menurutnya, mushalla tersebut dibangun pada tahun 1988 silam, saat itu banyak masyarakat mulai dari anak-anak hingga dewasa yang belajar ilmu agama disini. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan waktu, kini hanya menyisakan sekitar 5 orang saja. Karena banyak keturunan dari jemaat Ahmadiyah yang merantau ke Jakarta.
Sebelum ke Rejang Lebong, Ali mengaku pernah ditugaskan sebagai penyuluh Ahmadiyah di Cirebon pada tahun 2003 hingga 2006, kemudian dipindah lagi ke Bogor tahun 2006 hingga tahun 2009, lalu tahun 2009 sampai 2014 di Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, selanjutnya tahun 2014 sampai 2017 di Kota Bengkulu dan baru di tugaskan di daerah asalnya, Rejang Lebong pada tahun 2017 sampai sekarang. 

“Alhamdulillah disini bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang tidak menjadi pengikut Ahmadiyah, karena memang dari dulu mereka belajar mengajinya juga dengan kami dan paham betul dengan kegiatan kami,” ujar Ali.

Sembari duduk ia menceritakan, daam ajaran Ahmadiyah tidak ada paksaan bagi siapapun untuk bergabung menjadi jemaahnya, yang penting dalam beragama islam itu harus cerdas. Karena agama islam ini dinamis dan maju, jadi jangan kolot dan fanatik berlebihan. Karena islam ini damai dan moderat serta Ahmadiyah tidak ada bersentuhan dengan politik sama sekali.

Ia menjelaskan, Ahmadiyah ini ada di 214 negara dan di Indonesia memiliki 300 cabang. Sedangkan untuk jadwal puasa ramadhan ataupun hari raya Idul Fitri, pihaknya tidak memiliki perbedaan dengan pemerintah.  Sedangkan untuk salat tarawih ia memakai 11 rakaat.

“Kalau disini ada yang mengundang untuk yasiinan, saya juga datang. Tidak ada masalah, kita sama dengan organisasi islam lainnya,” lanjutnya.

Ali juga menanggapi mengenai Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. 

Menurutnya, itu bukan larangan untuk Ahmadiyah, akan tapi hanya berupa pembatasan kegiatan Ahmadiyah dan masyarakat. Dimana masysrakat dilarang anarkis terhadap Ahmadiyah dan Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajaran tentang kenabian.

Badan hukum Ahmadiyah dijelaskannya ada pada tahun 1953 dan sampai sekarang belum dicabut oleh pemerintah. Karena untuk mencabutnya itu harus ada unsur yang memang dilarang misalnya membuat kekacauan, dan prosesnya ada tiga tahap, yakni peringatan, pembekuan lalu tahap ketiga pembubaran.

“Jadi Ahmadiyah tidak pernah dibubarkan, karena kami mempercapai nabi akhir zaman atau nabi ke-25 itu nabi Muhammad SAW. Sedangkan Mirza Gulam Ahmad itu adalah guru, namun orang yang sentimen dengan kami beranggapan bahwa kami mengatakan bahwa Mirza Gulam Ahmad itu nabi, padahal tidak demikian,” papar Ali.

Setelah berbincang-bincang sekitar 90 menit, kamipun bergegas keluar rumahnya menuju mushalla tempat Majelis Amilah Jemaat Ahmadiyah. Setelah Ali masuk dengan mengenakan setelah jas dan celana dasar berpeci hitam kedalam Mushalla keluarkan seorang laki-laki berusia lanjut yang menjadi pengurus di Mushalla ini.

Selesai melaksanakan salat Dzuhur, kemudian Ali menunjukkan kepada kami sebuah Al-Quran yang sangat tebal. Kemudian ia membukanya dan menunjukkan beberapa surat dalam Al-Quran tersebut, dimana Al-quran ini sangat tebal lantaran didalamnya bukan hanya tulisan arab dan artinya saja. Akan tetapi dilengkapi dengan tafsir dari setiap ayat tersebut. 

“Jadi dalam mempelajari agama itu harus sempurna, selain kita harus bisa membaca kita suci kita yakni Al-Quran kita juga harus tahu artinya. Lalu kita harus tahu tafsirnya, sehingga kita tahu maksud dari ayat tersebut. Kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,” pesannya.

Disekitar mushalla terdapat beraneka ragam tanamah sayuran. Karena lokasinya yang berada di kaki Gunung Daun membuat kawasan ini sangat dingin dan memiliki tanah yang subur.

Sesaat kemudian waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB dan kami bergegas untuk berpamitan kepada Ali dan sang kakek penjaga Mushallla. Semoga kita bisa menjaga perdamaian dan kesempurnaan ibadah di dalam bulan suci ramadhan ini, amiin. (*)