Ibu Kota Majapahit dan Cerita Stamford Raffles

Bujangga Manik telah mengambil rute paling mudah dan juga mungkin paling lazim dilalui masyarakat saat itu sekiranya hendak ziarah ke Gunung Pawitra. Rute termudah ini mengisyaratkan lokasi Trowulan merupakan titik awal keberangkatan ziarahnya ke Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang.

Seperti telah diulas dalam artikel Misteri Lokasi Kedaton Majapahit, bahwa popularitas kawasan arkeologi Situs Trowulan sebagai locus keraton (royal city) atau ibu kota Kerajaan Majapahit tentu tidak terlepas dari serangkaian publikasi yang telah berlangsung lama.

Berawal dari hasil penelitian Willem Bartholomeus Wardenaar di awal abad ke-19, disambung tulisan Sir Stamford Raffles dalam The History of Java pada 1817, dan hingga puncaknya ialah publikasi Henry Maclaine Pont di awal abad ke-20.

Seperti diketahui, Maclaine Pont di sepanjang tahun 1921 ? 1924 mengadakan ekskavasi di Trowulan dengan maksud mencocokkan data lapangan dengan uraian Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakertagama. Hasil penelitiannya menghasilkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit di Trowulan, Map of the Majapahit Terrain. Dengan latar belakang keilmuannya sebagai arsitek, Maclaine Pont dalam tulisan-tulisan lainnya bahkan juga menyimpulkan bahwa puncak capaian arsitektural Jawa terjadi di era Majapahit.

Sudah tentu simpulan Maclaine Pont tentang capaian arsitektur Jawa berpuncak pada periode Majapahit, jika dibaca oleh Raffles bakal memunculkan polemik tersendiri. Pasalnya Raffles justru mendalilkan sebaliknya. Mulai digunakannya batu bata merah sebagai sumber material pembangunan candi dan tidak ditemukannya bangunan besar serta monumental seperti Candi Borobudur atau Prambanan, sejak bergesernya pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, menurut Raffles justru menandai periode sejarah kemerosotan Jawa. Untung saja saat tulisan-tulisan Maclaine Pont dipublikasikan, Raffles sudah berpulang jauh hari.

Tulisan ini tentu saja tidaklah berpamrih mendedah kegundahan Raffles, yang melihat kontras antara periode Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti diketahui periode Jawa Tengah memiliki sejumlah bangunan monumental yang sangat megah dan estetis. Dalam istilah sekarang termasuk kategori bangunan megastruktur. Sedangan periode Jawa Timur, hingga saat ini setidaknya belum ditemukan satupun bangunan megastruktur yang monumental. Tulisan ini juga tidak bermaksud membandingkan antara konsepsi Raffles dan Maclaine Pont, terkait momen puncak capaian arsitektural Jawa dan argumentasinya masing-masing.

Tulisan ini masih sebatas melacak sejarah popularitas Situs Trowulan, dan bagaimana tafsiran peneliti di masa lalu mengkontruksi kawasan arkeologi Trowulan sebagai lokus dari kota kedaton Majapahit. Selain itu, juga hendak disimak sejauh mana perkembangan penelitian termutakhir membuktikan, bahwa hingga saat ini Situs Trowulan memang menempati posisi hirarki tertinggi sebagai kandidat utama dari lokasi ibu kota Majapahit dibandingkan situs-situs lainnya di Jawa Timur.

Terlepas daripada itu, yang penting dicatat di sini, Situs Trowulan bagaimanapun merupakan salah satu situs perkotaan masa klasik di Indonesia. Oleh karena itulah, juga tak berlebihan sekiranya sejak tahun 2009, situs ini telah didaftarkan oleh pemerintah Indonesia ke UNESCO untuk ditetapkan menjadi Situs Warisan Dunia.

Kelebihan Situs Trowulan

Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Hampir di seluruh desa di Kecamatan Trowulan didapati temuan-temuan arkeologis. Sehingga seluruh daerah Trowulan merupakan satu kawasan situs arkeologi yang besar seluas hampir 100 km persegi.

Menariknya, gambaran ibu kota kuno di zaman Kerajaan Majapahit sebagaimana diceritakan oleh Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakertagama khususnya Pupuh VIII ? XII, diduga kuat berada di kawasan Situs Trowulan. Sejak awal abad ke-19 terlihat bahwa para ahli ?dengan begitu saja? telah mengidentikkan Situs Trowulan sebagai lokasi ibu kota Majapahit.

Sejauh ini, ekskavasi yang telah dilakukan di Trowulan menunjukkan adanya endapan vulkanis berlapis-lapis. Ini menunjukkan, wilayah ini berulang kali terkena dampak letusan gunung api yang terjadi pada beberapa periode waktu. Pelbagai temuan arkeologis di sini bukan saja merupakan jejak-jejak bukti peninggalan pemukiman kuno dari era Majapahit di abad ke-14, di antaranya juga dapat dipastikan berusia jauh lebih tua bahkan hingga abad ke-10.

Merujuk artikel Negarakertagama dan Trowulan karya AS Wibowo disebutkan, sejumlah prasasti ditemukan di daerah Trowulan. Prasasti tertua berasal dari zaman Raja Mpu Sindok bertarikh 861 Saka atau 939 Masehi. Sebuah batu berbentuk persegi dan kini dipakai sebagai nisan pada makam yang dikenal sebagai Kubur Panjang berpahatkan angka 1203 Saka atau 1281 Masehi. Sedangkan yang termuda adalah pahatan tahun pada batu nisan di kompleks makam Tralaya, bertarikh 1387 Saka atau 1465 Masehi.

Ya, memang bukan mustahil benda-benda temuan di Situs Trowulan berasal dari dua atau lebih zaman yang berbeda. Demikianlah, simpulan FDK Bosch saat melakukan ekskavasi di Trowulan pada tahun 1930-an. Adanya fakta ini sebenarnya membuat upaya ekskavasi dan penentuan usia sebuah jejak-jejak arkeologis sudah pasti menjadi tidak sesederhana yang dikira semula.

Pertanyaannya ialah sejak kapan nama Trowulan muncul dan dikenal? Sayangnya, sejauh ini sebenarnya masih susah dipastikan, apakah nama Trowulan merupakan fenomena toponimi kuno ataukah baru. Prapanca saat menulis Kakawin Negarakertagama juga tidak mencatat nama Trowulan ini.

Catatan tertua yang menyebut Trowulan sebagai lokasi ibu kota Majapahit berasal dari Wardenaar. Sayangnya tak terlalu jelas Wardenaar menyimpulkan hal itu merujuk sumber mana. Besar kemungkinan Wardenaar saat itu, yaitu di kisaran tahun 1815-an, menyimpulkan Trowulan sebagai kota kedaton Majapahit merujuk pada persepsi umum dari pendududuk setempat yang ditemuinya.

Mengikuti asistennya Wardenaar tersebut, Raffles ketika memaparkan situs makam Putri Campa di Trowulan menyebutkan antara lain ?... desa yang berdekatan adalah Trawoelan, atau Trang Wulan (cahaya bulan); di sini kami menemukan makam Putri Champa ... ?

Kemudian Maclaine Pont, setelah membaca keterangan dalam Serat Kanda bahwa nama Trowulan berasal dari nama Citra Wulan, arsitek Belanda ini pernah pula mengajukan gagasan bahwa nama Trowulan berasal dari “setra wulan”.

Masih seturut artikel Wibowo, Serat Dermagandul khususnya Pupuh XX mengisahkan saat-saat terakhir Raja Brawijaya. Mengutip Drewes, Wibowo memaparkan bahwa raja terakhir Majapahit ini berpesan jika meninggal kelak maka dia hendaknya dimakamkan secara Islam di daerah Sastrawulan. Namun karena putranya, Raden Patah, telah memperlakukannya sebagai seorang wanita maka makam tadi kelak diberi nama makam Putri Campa saja.

Seperti diketahui, yang disebut makam Putri Campa adalah kompleks makam kuno di Desa Trowulan. Salah satu makamnya memakai batu nisan dengan pahatan berangka tahun 1370 Saka atau 1448 Masehi. Kompleks makam ini jelas juga sudah dikunjungi Wardenaar pada 1815. Jadi kini menjadi cukup jelas, bahwa menurut cerita tersebut, apa yang disebut sebagai “Sastrawulan” adalah Trowulan sekarang. Dari nama Sastrawulan inilah muncul kesan kuat bahwa Trowulan-lah memang lokasi ibu kota Majapahit.

Namun pada titik ini juga patut diingat. Salinan tertua Serat Dermagandul ditengarai berasal dari tahun 1915. Sedangkan bicara naskah aslinya menurut perhitungan tidak akan lebih tua dari kisaran tahun 1878. Padahal di sekitar tahun itu pula Situs Trowulan telah dikenal luas sebagai lokasi ibu kota Majapahit.

Sekalipun hingga kini tidak atau belum ditemukan sumber rujukan baik berupa prasasti atau manuskrip kuno yang mencatat nama Trowulan sebelum abad ke-19, tapi situs ini tetap diyakini merupakan kota kedaton Majapahit. Agus Aris Munandar (2008) melalui karyanya Ibu Kota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian, misalnya, tetap berkesimpulan, Situs Trowulan ialah kota kedaton Kerajaan Majapahit. Munandar memberikan beberapa eksplanasi dan argumentasi, antara lain ialah:

Pertama, masalah keluasan areal situs. Tidak ada situs lainnya selain Situs Trowulan yang mempunyai keluasan hingga mencapai 11 x 9 kilometer persegi. Areal ini meliputi dua kecamatan di dua kabupaten yang berbeda yaitu Kabupaten Mojokerto dan Jombang. Situs-situs lain ukuran luasnya nisbi hanya sekitar 500 x 500 m saja atau bahkan lebih kecil lagi.

Kedua, keragaman bentuk benda arkeologis yang ditemukan di Situs Trowulan. Berbagai benda arkeologis dari era Majapahit dan sekitar era sebelum itu banyak ditemukan di Situs Trowulan. Adapun di situs-situs lainnya, bicara jenis artefak yang ditemukan nisbi lebih terbatas. Walaupun pada situs-situs lain juga ditemukan fragmen gerabah dan keramik asing dengan kualitas yang baik, temuan-temuan itu tetaplah tidak sekaya yang telah ditemukan di Situs TrowuIan.

Ketiga, segala berita dari catatan perjalanan orang Tiongkok maupun catatan sejarah lainnya, sejauh ini justru lebih mengarah pada kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ibu kota Majapahit tetaplah berada di Situs Trowulan dan bukan situs-situs lainnya.

Masih merujuk Munandar, sumber lain yang patut dicatat ialah naskah Bujangga Manik. Bujangga Manik adalah seorang agamawan Sunda yang melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa di akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16. Sejauh ini diketahui, naskah tertua ditulis di atas daun palem dan tersimpan di perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak 1627 atau 1629.

Bujangga Manik berkunjung ke Majapahit saat kerajaan itu telah berada di ambang keruntuhan. Merujuk Munandar, beberapa lokasi yang disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama masih dapat disaksikannya. Sebutlah misalnya  lapangan bubat dan alun-alun di depan kompleks kedaton yang disebut dengan nama “manguntur. Negarakertagama menyebut lokasi itu dengan nama wanguntur.”

Bujangga Manik juga menyebutkan banyak nama tempat seperti Darma Anyar, Karang Kajramanaan, Karang Jaka, dan Palintahan. Akan tetapi nama-nama ini ternyata tidak tercantum dalam Negarakertagama. Mungkin saja memang nama-nama ini merupakan toponimi baru, yang baru dikenal setelah Majapahit melewati masa keemasan. Sementara Kakawin Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca ialah era Raja Hayam Wuruk, periode puncak keemasan.

Meski demikian di sini ada satu toponimi yang menarik disimak. Palintahan masih dikenal sebagai nama tempat di Situs Trowulan, diucapkan sebagai Plintahan, lokasinya berada di arah barat daya dari cluster kedaton sekarang. Majapahit yang dimaksudkan oleh Bujangga Manik, seturut tafsiran Munandar dapat diasumsikan berada di Trowulan saat ini.

Apalagi menilik naskah itu juga terdapat ungkapan setelah meninggalkan Majapahit, mendakilah (saya) ke Gunung Pawitra. Gunung Pawitra yang dimaksudkan dalam naskah ini jelas merujuk kepada Gunung Penanggungan. Posisi gunung ini terletak di arah selatan-tenggara Trowulan.

Dari sini mudah diduga, Bujangga Manik telah mengambil rute paling mudah dan juga mungkin paling lazim dilalui oleh masyarakat Majapahit ketika itu sekiranya hendak ziarah ke Gunung Pawitra. Rute termudah ini mengisyaratkan lokasi Trowulan merupakan titik awal keberangkatan ziarahnya ke Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang.