Ekonomi Tumbuh, Benarkah Sudah Sejahtera?

Ilustrasi

Oleh: Siti Zuliana Fedi

Bengkulutoday.com - Kemiskinan selalu menjadi primadona dibidang ekonomi. Ketika membicarakan mengenai masalah ekonomi suatu wilayah, kemiskinan selalu menjadi objek yang tidak akan ketinggalan untuk dibicarakan. Seolah tak mau diabaikan, kemiskinan selalu ingin jadi prioritas. Tak heran, jika tujuan mengurangi kemiskinan serendah-rendahnya selalu menjadi impian setiap pemimpian daerah bahkan negara di seluruh belahan dunia. Daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, selalu tergambarkan dengan perekonomian yang buruk. Sebaliknya, daerah dengan tingkat kemiskinan yang rendah, akan identik dengan perekonomian yang semakin baik. Seolah, jika pemimpin daerah mampu menggenjot perekonomian setinggi-tingginya, bisa dikatakan ia telah berhasil memakmurkan masyarakat yang berada di bawah kepemimpinannya. Namun, apakah hal itu berlaku untuk Provinsi Bengkulu?

Pada awal Agustus lalu, BPS Provinsi Bengkulu telah merilis data pertumbuhan ekonomi di level provinsi. Tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi Bengkulu triwulan II tahun 2021 (y-o-y) tumbuh sebesar 6,29 persen, bila dibandingkan triwulan II tahun 2020 yang mengalami perlambatan sebesar 0,74 persen. Dan jika dibandingkan dengan triwulan I tahun 2021 (q-to-q), pertumbuhan ekonomi Bengkulu tumbuh sebesar 4,70 persen.

Hal ini menjadikan provinsi Bengkulu sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi triwulan II 2021 terbesar  ketiga se-Pulau Sumatera. Tentunya ini merupakan prestasi yang membanggakan bagi Bengkulu ditengah tingginya kasus pandemi Covid-19, Bengkulu tetap mampu mempertahankan perekonomiannya agar tetap tumbuh dan bahkan semakin baik. 

Namun, lagi-lagi selalu tidak ada kebanggaan yang sempurna. Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ternyata pencapaian Bengkulu dalam menurunkan tingkat kemiskinan tidak segemilang pencapaiannya dalam pertumbuhan ekonomi. Pada bulan Juli 2021 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu juga telah merilis angka kemiskinan Maret 2021.

Dan hasilnya, Bengkulu mengalami kenaikan persentase penduduk miskin yang cukup besar. Selama periode satu tahun (dari bulan maret 2020 ke bulan Maret 2021) tercatat bahwa penduduk miskin di Provinsi Bengkulu telah bertambah sebanyak 3.421 jiwa, atau jika dipersentasekan, penduduk miskin di Provinsi Bengkulu pada Maret 2021 meningkat menjadi 15,22 persen. Naik 0,19 poin dibandingkan persentase penduduk miskin di Maret 2020. Dan ini menjadikan Provinsi Bengkulu sebagai provinsi kedua dengan angka kemsikinan tertinggi se-Pulau Sumatera. Kenyataan ini tentunya bertolak belakang dengan teori yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat penting dalam menurunkan tingkat kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi memang dijadikan sebagai indikator kesejahteraan penduduk di suatu daerah. Secara teori pun telah disepakati oleh para ekonom seperti Adam Smith, Karl Marx, dan John Stuart Mile, dan beberapa hasil penelitian ilmiah bahwa pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Namun, seolah menolak teori, fakta di Bengkulu memiliki alur cerita yang berbeda. Berbagai kebijakan Pemerintah Bengkulu untuk meningkatkan perekonomiannya mungkin memang mampu meningkatkan nilai tambah namun tidak untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Padahal, tujuan utama peningkatan ekonomi adalah untuk mensejahterakan rakyat secara keseluruhan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, mengapa hal itu dapat terjadi?.

Distribusi pendapatan mungkin bisa menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan tersebut. Adanya ketimpangan distribusi pendapatan memungkinkan adanya cerita bahwa suatu wilayah terlihat semakin kaya dan sejahtera, namun sesungguhnya penduduknya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini bisa jadi karena, pendapatan yang dihasilkan dari nilai produksi yang meningkat, hanya terdistribusi dan dinikmati oleh orang kaya. Sehingga, orang kaya akan semakin kaya dan orang miskin pun tak bisa menjadi kaya.

Hal ini sangat mungkin terjadi karena orang kaya yang memiliki berbagai keunggulan dalam mengakses faktor produksi akan mampu memanfaatkan berbagai kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan, orang miskin tak mampu memanfaatkan kebijakan tersebut untuk meningkatkan penghasilannya dikarenakan berbagai kekurangan yang dimilikinya. Hal ini senada dengan hasil penelitian Guiga dan Rejeb (2012) yang menyatakan bahwa peningkatan ketidaksetaraan distribusi pendapatan (yang digambarkan dengan koefisien gini) menyebabkan peningkatan angka kemiskinan.

Oleh karena itu, para pemangku kebijakan harus sadar bahwa setiap kebijakan yang dibuat, tidak semata-mata hanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar daerah terlihat semakin maju dan kaya. Namun juga perlu mempertimbangkan keadaan orang-orang miskinnya. Kebijakan yang dibuat harus pro poor, memihak kepada orang-orang miskin. Artinya, kebijakan yang dibuat tidak semata-mata untuk meningkatkan pendapatan secara rata-rata, namun lebih khusus, kebijakan yang dibuat adalah untuk meningkatkan pendapatan orang miskin.

Karena tidak semua orang yang pengangguran berarti miskin, dan tidak semua orang miskin karena mengganggur atau tidak bekerja, mereka bekerja namun penghasilannya tidak mampu mengeluarkan mereka dari jurang kemiskinan. Selain itu, perlu diingat bahwa memberikan stimulus berupa berbagai bantuan kepada orang-orang miskin hanya bersifat sementara dan tidak selamanya efektif, peningkatan terhadap skill  dan modal orang-orang miskin juga perlu untuk ditingkatkan agar mereka mampu meningkatkan pendapatannya dimasa yang akan datang dan lebih mandiri. Sehingga, para pemangku kebijakan perlu mempertimbangkan segala kebijakan yang dibuat agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat diikuti peningkatan kesejahteraan di kalangan miskin.