Bengkulu, Bengkulutoday.com- Sidang lanjutan kasus Fraud BSI Bengkulu dengan agenda pemeriksaan saksi ahli Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Sidang tersebut dipimpin ketua hakim Edi Sanjaya Lase, S.H dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bengkulu Lucky Selvano Marigo, SH dan Penasehat hukum terdakwa Tiara Kania Dewi (TKD) Dede Frestian. Pada sidang tersebut JPU menghadirkan Wilson Mario Johannes Marudut H, S.H, M.H saksi ahli PPATK.
Jaksa Penuntut Umum Lucky Selvano Marigo, S.H menerangkan, menurut dari keterangan saksi ahli terkait seluruh aliran dana mulai transaksi rekening penampung, ada rekening rekening terdakwa TKD sendiri, mulai transaksi keluar masuk dengan sesuai keilmuannya bidang auditor.
"Mereka ada satu keluarga, Suami memiliki rekening sendiri, itu dipelajari juga termasuk anaknya yang masih kecil itu pun transaksinya ditelusuri, " terang Lucky.
Disampaikan Lucky, Terdakwa ini memiliki sebanyak 4 rekening. Mulai transaksi rekening suami dengan total Rp 5 miliyar lebih, bahkan rekening anaknya juga dengan total transaksi ratusan juta itu semuanya ditelusuri oleh tim ahli auditor.
"Dengan total dari rekening TKD 500 transaksi. Sistem pengalihan transaksi dengan cara tarik manual kemudian disetor manual untuk menghilangkan jejak. Transaksi itu ke rekening suami dan rekening terdakwa sendiri, untuk transaksi berputar dalam rekening itulah. Jika transaksi di transfer pasti akan ketahuan, " terang Lucky.
Ditambah Lucky, soal permohonan mengaudit perkara ini permohonan dari penyidik Mabes Polri Bidang Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) melakukan mengaudit perkara ini.
"Itu permohonan dari penyidik Dittipideksus Mabes Polri, semuanya ada kronologis Fraud terjadi, baru auditor berkerja melakukan penelitian dan penelusuran, " terang Lucky.
Dijelaskan Lucky, Terdakwa ini ada 4 rekening BSI semua ditelusuri. Ada 1 rekening milik terdakwa yang mencolok ujung nya 0908 sebanyak 122 lebih transaksi, ke terkhusus rekening milik YF suami TKD sendiri dengan total Rp 5,8 miliar lebih.
"Untuk keterangan saksi ahli, Otomatis ini memperkuat dakwaan kita, semuanya keterangan saksi kita cantumkan di dakwaan yang apa yang di sampaikan dari saksi, dan itu terdakwa tidak keberatan, "ungkap Lucky.
Dikatakan Lucky, untuk audit Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak harus memiliki hukum tetap (inkracht) dari pengadilan itu tidak harus putus dulu.
"Untuk perkara TPPU, tidak perlu inkracht ketika itu diminta oleh penyidik melakukan pengauditan. Jika kalau ada praduga aliran dana tidak wajar yang itu dikuatkan pasal 65 KUHAP, " terang Lucky.
Sementara itu, Kuasa Hukum terdakwa, Dede Frastian, mengatakan bahwa dugaan TPPU terhadap kliennya YF tidak tepat atau terlalu dini. Alasannya, YF sendiri tidak mengetahui jika rekening atas namanya telah digunakan untuk ratusan transaksi tersebut.
"Memang atas nama YF, tapi bukan YF yang dikejar-kejar sebagai pelaku TPPU. Kalau memang mau senada dengan ahli, bukan dia yang melakukannya kok. Tapi namanya iya secara formil," katanya.
Selain itu, lanjut Dede, dalam persidangan itu saksi ahli telah mengatakan bahwa pihak Mabes juga hanya memberi nama YF. "Padahal sebagai ahli, kalau orang sakit panu, lalu dokter bilang kamu kena kurap, si dokter harus bilang kamu ada penyakit. Jadi jangan ditutupi penyakitnya. Karena begitu ini disembuhkan nanti ada penyakit lain," katanya menganalogikan.
"Jadi perkaranya yang mencari atau follow the money, bukan dia ini. Ada YF, YF dicari ada nggak alirannya? Nggak bisa begitu karena bank itu dana public dan ada korban beberapa nasabah. Darimana nilai kerugian, dari nilai nasabah yg mengklaim. Itu mengapa dibilang baru potensi karena belum semua nasabah mengklaim secara final," jelasnya.
Lanjut Dede, karena sumber dana bank adalah uang dari nasabah, maka kalau ada nasabah yang tidak menagih/klaim, maka potensi kerugian Rp 8 milyar yang disebut-sebut dalam perkara ini tidak lagi senilai itu. "Kalau nasabah menagih maka potensinya 8 milyar. Tapi kalau nasabah (Tusia) tidak menuntut maka potensinya hanya 7 milyar karena nilai simpanan yang tak ditagih mencapai 900 juta," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa sejak awal ada yang salah dalam melihat perkara ini. "Harusnya dilihat bahwa ada aliran uang itu dari 2019 sama Herta dan Boti, 20 juta satu bulan yang kalau dihitung sekarang mungkin sudah capai ratusan, itu tidak boleh diterima Herta dan Boti karena dia telah menerima hasil kejahatan. Karena profit yang diatur di BSI tidak sebesar itu. Kalau modal bisa dikembalikan, jadi causa-nya tidak halal," katanya.
Selain itu, lanjut Dede, data yang diambil oleh ahli PPATK yang menyatakan bahwa data itu berasal dari penyidik, data itu coba digali rekannya di persidangan. "Kita tanya, apa data primer atau sekunder atau tersier. Namun ahli tidak dapat menjawab soal itu. Artinya saksi ahli juga hanya menganalisis apa yang disuguhkan oleh penyidik Mabes Polri," katanya. Data itulah, kata Dede, yang kemudian disuguhkan dalam perkara ini untuk diperiksa di persidangan.
"Saksi ahli juga menjelaskan ada tindak pidana pencucian uang pasif, ada aktif yang mana ada frasa patut diduga. Nah, patut diduga ini pakemnya sejauh mana. Yang dijelaskan ahli, sebagai contoh, ada indikasi uang masuk, dari rek A ke rek B. Tapi B yang punya rek tidak tahu, misalnya. Tapi dia langsung melaporkan. Ini bisa disebut pasif. Nah yang aktif, memang ada niat batin yang terjadi dari pelaku untuk memindahkan uang dari rek A ke rek B," beber Dede.
Selain itu, lanjut Dede, di persidangan juga terungkap fakta rekening klien kami katanya ada tiga dangan nama Tiara Kania Dewi, Tiara Kania Dewi dan Tyara Dewi. "Nah ini yang coba kami gali lagi. Kalua kemudian Tiara ini, ini Tiara yg mana? dia analogikan dengan kasus simulator SIM dimana dulu da nama Joko, yang satu pakai 'Dj' yang lain pakai 'J' saja," ujarnya.
"Dari mana tahu kesamaan itu? Katanya berkaca dengan kasus simulator SIM. Tapi kami membantah persamaan itu karena ini in case. Misalkan nama saya dipakai seseorang, saya tidak mengetahui rekeningnya, tidak pegang ATM-nya, dll. Apakah bisa saya dikatakan saya TPPU pasif? Ya dia bilang. Bisa katanya. Lah kok bisa? Karena ada frasa patut diduga. Lah, dari mana? Kan saya tidak tahu dan perbankan tidak pernah memberi tahu. Nah mentok lah di situ. Dia (saksi hli) hanya bersikeras bahwa pasif itu harus didahului dengan patut diduga," ujar PH.
Adapun point ketiga yang didalami kuasa hukum terdakwa, lanjut Dede, adalah terkait dengan status perkara apakah harus menunggu dulu putusan ini inkrah dulu baru bisa dikembangkan dengan tersangka lainnya.
"Kata ahli bisa saja karena ada di norma pasal (59 atau 69), katanya, tidak harus menunggu pokok perkaranya putus dulu baru boleh memulai penyidikan," urainya.
Atas keterangan itu, kuasa hukum menyatakan tidak sependapat. Norma pasal yang dimaksud saksi ahli itu mesti di kesampingkan dulu. Sebab yang harus diungkap, kata kuasa hukum terdakwa, adalah kebenaran pokok perkaranya.
"Kalau kita baca perkara ini, harus diselesaikan dulu karena kita harus melihat terang dulu pokok masalahnya. Jangan sampai menyeret orang yang tidak bersalah dan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Setelah putusan tetap baru lah kita tahu siapa pelaku-pelakunya. Bukan seperti saat ini sudah dibuat adanya pihak-pihak lain," katanya.
Kuasa hukum terdakwa mengakui bahwa saksi ahli yang dihadirkan JPU memang lebih banyak memahami tentang TPPU. Bukan soal perbankan. Hal itu, kata dia, juga nampak dari banyak pertanyaan hakim soal perbankan yang tidak terjawab.
"Dia memang ahli TPPU. Dia memang ditjen yang membawahi soal TPPU. Makanya hanya sebentar sidangnya. Karena apa lagi yang bisa kita gali," ujarnya.
Dijelaskan Pilipus Tarigan, kuasa hukum lainnya bahwa saksi ahli PPATK itu memang menyatakan juga bahwa TPPU itu harus ada sifat mengetahui dan menghendaki.
"Selain transaksi itu dari A ke si B, si penerima itu harus dia tahu dan menghendaki. Apakah itu nanti masuk aktif atau pasif, tapi ada kehendaknya sehingga ada aliran. Itu juga ada satu factor. Kalua kita bisa lihat keterangan ahli tadi, itu bukan sekedar transaksi. Tidak bisa berdiri sendiri," katanya.