Momentum Positif Kenaikan Harga Mie Instan

ilustrasi murianews.com

Oleh: Yosep Oktavianus Sitohang, ASN BPS Prvovinsi Bengkulu

Bengkulutoday,com - Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan berita harga mie instan yang mungkin naik 3 kali lipat dari harga normal. Informasi tersebut diperoleh dari pernyataan Menteri Pertanian dalam acara Webinar Strategi Penerapan GAP Tanaman Pangan Memacu Produksi Guna Antisipasi Krisis Pangan Global pada tanggal 8 agustus 2022. Sontak hal tersebut menimbulkan perdebatan dikalangan netizen dan masyarakat. Namun apakah kenaikan harga mie instan akan selalu menimbulkan dampak yang negatif?

Mengkonsumsi mie sepertinya telah menjadi budaya di Asia. Tidak dapat dipastikan kapan mie mulai dikonsumsi. Konon telah ada sejak sebelum masehi. Meski sama-sama menikmati mie, beberapa negara di Asia memandangnya dengan cara berbeda. Di Tiongkok, Korea dan Jepang, mie menjadi bahan utama hidangan, sementara di Asia Tengah mie menjadi hidangan pelengkap. Sementara di Indonesia, selain sebagai sajian utama, mie kadang dianggap sebagai lauk dan dimakan dengan nasi.

Berdasarkan World Instant Noodles Association (WINA), mie instan muncul di Jepang pada tahun 1958. Ide itu muncul dari rasa iba terhadap masyarakat yang rela antre panjang untuk mendapatkan semangkuk ramen. Rasa yang nikmat, mudah dimasak dan harga yang terjangkau membuat mie instan menjadi sajian favorit di masyarakat.

Menurut WINA, tercatat permintaan global tahunan akan mie instan diperkirakan sekitar 15 juta porsi pada 1990 yang kemudian naik melebihi 118 miliar porsi di 2021. Indonesia sendiri menempati negara nomor 2 tertinggi pengkonsumsi mie instan, yaitu mencapai 13 miliar porsi mie instan. Dari sisi pengeluaran, berdasarkan data BPS (Susenas Maret 2021) pengeluaran perkapita penduduk Indonesia untuk mie instan mencapai Rp. 108.748 pertahun. Besaran itu menyumbang 1,45 persen dari pengeluaran makanan.

Kemungkinan naiknya harga mie instan, pastinya akan berdampak kepada masyarakat Indonesia, tetapi harus kita sikapi dengan bijak. Kondisi ini bisa menjadi alasan untuk merubah pola konsumsi makanan masyarakat. Sudah saatnya beralih ke makanan tradisional, seperti ubi rebus, bubur kacang hijau, getuk dan lain sebagainya. Selain mengeyangkan, sajian tersebut lebih bergizi dan sehat. Karena tidak dapat dipungkiri banyak studi yang menyatakan dampak negatif terhadap kesehatan akibat mengkonsumsi mie instan.

selanjutnya, kita bisa mengurangi pengeluaran konsumsi makanan termasuk mie instan, dan mengalihkannya untuk tabungan. Memang budaya menabung di Indonesia masih terbilang rendah. Menurut World Bank ditahun 2016, rasio kepemilikan rekening bank pada usia diatas 15 tahun, hanya 48,9 persen. Oleh karenanya kenaikan harga mie instan dapat dijadikan momentum menggalakkan masyarakat untuk menabung. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan tanggal 20 agustus sebagai Hari Indonesia Menabung, yang tujuannya meningkatkan kesadaran masyarakat agar menabung sejak dini.