Pendapat Ahli Atas Kasus Ridwan Mukti

Ridwan Mukti, Gubernur Bengkulu non aktif
Ridwan Mukti, Gubernur Bengkulu non aktif

Sebuah pendapat hukum dari DR. MUDZAKKIR, S.H., M.H

Pendapat hukum ini dibuat atas permohonan dari Tim Penasehat Hukum Dr. Ridwan Mukti dan Lily Martiani Maddari No: 177/MIP/MI/XI/2017 tanggal 20 Nopember 2017 perihal permohonan sebagai Ahli Hukum Pidana.

PEMBAHASAN:

Apakah menurut ahli, kewajiban KPK untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) adalah imperative atau sebagai kewenangan yang dapt dipilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan ?

Pembahasan:

Ketentuan Pasal 1 ke-3 dan Pasal 6 huruf d Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai tugas dan kewajiban KPK yaitu melakukan pemberantasan korupsi yaitu “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah ....” bersifat imperatif, bukan sebagai alternatif atau pilihan diantara sebagian dari tugas lainnya. Justru politik hukum pembentukan Undang-undang KPK lebih menekankan pada kegiatan pencegahan tindak pidana korupsi, sekaligus sebagai parameter keberhasilan kinerja lembaga KPK adalah menghapus tindak pidana korupsi (tidak terjadi tindak pidana korupsi).

Apa pendapat ahli tentang Operasi Tangkap Tangan ?

Pembahasan:

Tindakan penegak hukum berupa Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak dikenal dalam hukum acara pidana dalam KUHAP. KUHAP mengatur tentang “Tertangkap Tangan” dan tidak mengunakan terminologi Operasi (yakni sengaja atau merancang kegiatan/operasi untuk menangkap seseorang yang sudah ditarget atau menjadi sasaran).

KUHAP dalam Pasal 1 ke-19 menjelaskan yang dimaksud dengan Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

Berdasarkan penjelasan tersebut, pengertian “tertangkap tangan” yang dimaknai orang yang ditangkap ketika orang sedang atau tidak lama setelah atau berdasarkan benda yang ditemukan baru saja melakukan tindak pidana, sedangkan pengertian “operasi tangkap tangan” berarti sengaja berencana melakukan penangkapan terhadap seseorang seolah-olah orang tersebut sedang melakukan tindak pidana. Penggunaan awalan “ter” dalam “tertangkap tangan”, berbeda dengan “operasi tangkap tangan” tanpa diawali dengan awalan “ter” yang bermakna atau sama maknanya dengan tindakan “penangkapan” biasa yaitu “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 1 ke-20 KUHAP).

Perbedaan prosedur penggunaan wewenang untuk melakukan penangkapan dan tertangkap tangan diatur dalam Pasal 18 KUHAP.

Pasal 18

(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

(2) Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.

(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Berdasarkan ketentuan KUHAP tindakan OTT tidak sama dengan melakukan tindak penangkapan, maka kewenangan penyidik dalam melakukan OTT juga tidak sama dengan kewenangan penyidik dalam penangkapan. OTT tidak sama dengan tindakan “tertangkap tangan”, oleh sebab itu, penggunaan wewenang penyidik dalam dalam perkara “tertangkap tangan” tidak sesuai dengan prosedur penangkapan dan juga tidak sesuai dengan prosedur tertangkap tangan. Penggunaan wewenang OTT dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang tidak sesui dengan maksud dan tujuan pemberian wewenang). Dalam kasus “tertangkap tangan”:

1) penyidik/penyelidik sebelumnya tidak mengetahui akan terjadi tindak pidana, 2) penyidik/penyelidik sebelumnya tidak mengetahui pelaku tindak pidana, 3) diketahuinya tindak pidana dan pelaku kejahatan bersifat spontan/atau seketika itu, dan 4) orang yang diduga sebagai pelaku kejahatan tertangkap pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Penangkapan dilakukan oleh orang yang mengetahui dan mampu menangkap pelakunya dan segera setelah itu diserahkan kepada aparat penegak hukum atau melalui aparat pemerintah lainnya untuk diserahkan kepada aparat penagak hukum.

Sedangkan dalam perkara OTT; penyelidik/penyidik telah mengetahui akan adanya orang yang hendak melakukan tindak pidana dan tidak mencegahnya dan menunggu sampai dengan orang tersebut melakukan tindak pidana, dilakukan hanya oleh aparat penegak hukum atau penyelidik/penyidik, adanya surat perintah, dan didahului dengan laporan atau tanpa ada laporan tapi hasil sadapan.

Jadi dalam OTT (operasi tangkap tangan) berarti penyidik atau penangkap telah mengetahui orang yang hendak melakukan tindak pidana dan tidak melakukan peringatan, teguran atau perintah kepada orang yang hendak melakukan kejahatan untuk menghentikan niat jahatanya, atau tidak melakukan pencgahan tetapi justru menunggu sampai dengan orang tersebut melakukan kejahatan baru kemudian menangkapnya. Kalau ada orang yang hendak membunuh misalnya, ditunggu sampai dengan adanya orang mati terbunuh baru kemudian ditangkapnya.

Apakah dengan adanya OTT menurut ahli penanganan perkara harus dilakukan secara normal, bukan diperlakukan sebagaimana terjadi tangkap tangan?

Pembahasan:

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa OTT memiliki makna tidak sama dengan tindakan penangkapan, maka penangan perkara OTT harus dilakukan secara proses normal sebagaimana diatur dalam KUHAP mengenai prosedur penangkapan.

Bagaimana pendapat ahli terhadap tangkap tangan tanpa ada transaksi atau tidak sedang melakukan tindak pidana ?

Pembahasan:

Seseorang dalam perkara tertangkap tangan pada hal orang tersebut tidak sedang melakukan tindak pidana atau adanya transaksi sebagai salah satu unsur tindak pidana, maka tindakan tertangkap tangan tersebut harus dinyatakan tidak sah.

Apa syarat dari suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suap menurut hukum pidana?

Pembahasan:

Perbuatan suap diatur dalam beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disarikan sebagai berikut :

  1. Ada orang yang memberi hadiah atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
  2. Adanya pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bersedia untuk melakukan perbuatan berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dengan menerima hadiah atau jani;
  3. Adanya ijab qobul atau komitmen/kesepakatan antara pemberi suap untuk memberi hadiah atau janji dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima suap untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya;
  4. Perbuatan tersebut melawan hukum.

Mohon penjelasan tentang suap aktif dan suap pasif dan apakah ada perbedaan dari ancaman terhadap pelaku suap ini?

Pembahasan:

Inti dari maksud dan tujuan atau politik hukum pidana suap adalah untuk melindungi pegawai atau penyelenggara negara agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya secara baik dan benar tidak terpengaruh oleh janji atau hadiah. Perbuatan suap termasuk perbuatan yang dapat mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk tidak melakasanakan tugas dan kewajibannya secara baik dan benar, maka perbuatan suap dilarang dalam hukum pidana.

Suap pasif adalah suap yang ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Suap aktif adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara mempengaruhi orang dengan cara memaksa untuk memberi hadiah atau menjanjikan sesuatu dengan imbalan akan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dewan kewajibannya. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa kepada seseorang untuk memberi hadiah atau janji kepadanya yang berhubungan dengan jabatannya.

Terdapat perbedaan ancaman pidananya, suap aktif ancaman pidananya lebih berat daeripada suap pasif.

Apa makna dari kewajiban melapor bagi penerima gratifikasi ?

Pembahasan:

Perbuatan melapor atau tidak melapor pihak pegawai negeri atau penyelenggara penerima gratifikasi sebagai penentu ada tidaknya sifat melawan hukum pidana dalam perbuatan gratifikasi. Pegawai negeri dan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi paling lama 30 hari tidak melapor kepada KPK, maka perbuatan gratifikasi tersebut sebagai perbuatan pidana, sebaliknya jika dalam batas waktu paling lama 30 telah melapor kepada KPK, maka perbuatan gratifikasi tersebut bukan sebagai perbuatan pidana atau sebagai alasan penghapus perbuatan melawan hukum atau penuntutan.

Apakah menurut ahli dengan adanya pasal berpasangan harus digunakan untuk mendakwa itu adalah juga pasal yang berpasangan?

Pembahasan:

Dalam tindak pidana yang pelakunya terdiri dari dua kelompok pelaku yang berpasangan, yaitu pemberi suap dan penerima suap yang keduanya sebagai pelaku tindak pidana, maka dalam mendakwa atau memutus harus dengan menggunakan delik dalam pasal yang berpasangan, karena keduanya adanya keduanya sebagai syarat terjadi tindak pidana.

Perbuatan pidana suap tidak mungkin terjadi/ada kalau kalau tidak ada orang yang memberi suap dan tidak ada pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima suap.

Apakah menurut ahli ada kewajiban Penuntut Umum untuk mendakwa dan menuntut pelaku perbuatan pidana dengan delik berpasangan ?

Pembahasan:

Penuntut memiliki kewajiban untuk menegakan hukum secara baik dan benar menurut hukum dan ilmu pengetahuan hukum pidana. Apabila dalam hukum pidana mengatur tindak pidana yang terjadi secara berpasangan pelaku, maka menjadi kewajiban hukum bagi jaksa penutut umum mendakwa dan hakim dalam memutus dalam delik berpasangan dengan cara menerapkan norma hukum pidana secara berpasangan tersebut.

Sebagai contoh tindak pidana suap dalam Pasal 5 ayat (1) UU. Tipikor dikenakan kepada pemberi suap dan Pasal 5 ayat (2) UU. Tipikor dikenakan kepada penerima suap maka jika terbukti ada yang memberi suap dan ada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap harus dikenakan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayata (2) UU. Tipikor.

Ataukah hukum acara pidana kita memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada penuntut umum untuk mendakwa dan menuntut pelaku perbuatan pidana?

Pembahasan:

Jaksa penuntut umum tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasal yang hendak didakwakan, tetap wajib mengikuti dan terikat dengan norma hukum pidana materiil dan norma hukum pidana formil serta asas-asas hukum yang berlaku atau sesuai dengan sistem hukum pidana nasiomnal Indonesia.

Mohon ahli menjelaskan konteks pemberian dengan memanfaatkan pengaruh ?

Pembahasan:

Dalam hukum pidana Indonesia belum mengatur mengenai perdangan pengaruh dan pemberian dengan memanfaatkan pengaruh. Perdagangan pengaruh adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan cara memperdagangkan pengaruh (menggunakan pengaruh orang).

Apakah menurut ahli barang-barang yang disita dalam satu tangkap tangan semua barang apa saja yang ada pada tersangka atau hanya barang yang digunakan untuk melakukan perbuatan, yang diperoleh dari perbuatan pidana, benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana, yang dibuat khusus untuk melakuka perbatan pidana, benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh Pasal 39 KUHAP. Atau terbatas pada ketentuan Pasal 40 KUHAP yaitu benda atau alat yang telah digunakan untuk melakuan perbuatan pidana atau benda lain yang dipakai sebagai barang bukti ?

Pembahasan:

Benda yang dapat disita dalam hal seseorang tertangkap tangan melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 40 KUHAP:

Pasal 4O

Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Karena tertangkap tangan melakukan tindak pidana, berarti pelaku tindak pidana hanya melakukan tindak pidana yang sedang/tidak lama kemudian setelah kejahatan dilakukan, maka barang yang dapat disita dibatasi hanya pada tindak pidana yang tertangkap tangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 40 KUHAP. Sedangkan terhadap tindak pidana yang tidak tertangkap tangan diatur dalam Pasal 39 KUHAP.

Jika penyitaan dalam satu tangkap tangan melebihi dari ketentuan Pasal 39 KUHAP ini apakah menurut ahli penyitaan tersebut sah menurut hukum?

Pembahasan:

Jika penyidik melakukan penyitaan terhadap barang yang tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 KUHAP yaitu benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti, maka tindakan penyitaan terhadap banrang yang melebihi dari ketentuan Pasal 40 tersebut dinyatakan melampaui wewenang atau tidak sah.

Kapan suatu tindak pidana dilakukan dua orang atau lebih sebagai penyertaan?

Pembahasan:

Tindak pidana penyertaan diatur dalam Pasal 55 KUHP.

Pasal 55

  1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
  2. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
  3. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
  4. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Untuk dikenakan tindak pidana dalam bentuk “Turut Serta melakukan” perbuatan pidana suap diperlukan adanya dua syarat, yaitu:

  1. Syarat subjektif:

Masing-masing memiliki niat berbuat jahat dan niat jahat tersebut hendak/atau telah dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku lain yang juga memiliki niat jahat yang sama.

  1. Syarat objektif:

Adanya hubungan antara kelakuan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku satu dengan pelaku lainnya sedemikian rupa untuk melaksanakan niatnya melakukan kejahatan yaitu melakukan perbuatan pidana yang dituju sehingga unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi.

Bagaimana jika seseorang dituduh melakukan tindak pidana turutserta melakukan tindak pidana, sementara tidak terbukti adanya syarat subjektif dan subjektif tersebut, tetapi orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tersebut statusnya sebagai isteri dari seorang laki-laki/suaminya sebagai penyelenggara negara?

Pembahasan:

Bahwa suatu tindak pidana turut serta melakukan perbuatan pidana dalam kapasitasnya sebagai sumi-isteri, atasan-bawahan, orang tua-anak, kakak-adik, atau hubungan kedekatan lainnya tetap harus memenuhi dua syarat tersebut dan harus dibuktikan adanya unsur subjektif dan unsur objektif tersebut.

Berdasarkan prinsip hukum “siapa yang berbuat, maka ia yang bertanggungjawab” dan “pertanggungjawaban pidana tidak dapat dialihkan kepada orang lain”, maka seorang suami yang menjabat sebagai penyelanggara negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh isterinya, demikian sebaliknya seorang isteri sebagai penyelenggara negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh suaminya, demikian juga dengan hubungan dekat lainnya.

PENDAPAT HUKUM

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut disimpulkan sebagai pendapat hukum sebagai berikut :

  • Tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak dapat dikualifikasikan sebagai “tertangkap tangan” dan juga tyidak dapat dikualifikasikan sebagai “penangkapan”. OTT tidak memiliki dasar hukum dalam KUHAP.
  • Suatu tindak pidana yang dirumuskan secara berpasangan, tindak pidana tersebut terjadi dipersyaratkan adanya dua kelompok pelaku dan sebaliknya kejahatan tersebut tidak terjadi jika hany satu kelompok pelaku. Tindak pidana suap adalah tindak pidana berpasangan yang memiliki dua kelompok pelaku yaitu pemberi suap dan penerima suap dan oleh karenanya harus dikenakan pasal yang sama, Pasal 5 ayat (1) UU. Tipikor dikenakan bagi pelaku pemberi suap dan Pasal 5 ayat (2) UU Tiikor dikenakan bagi pelaku penerima suap.
  • Tindakan penyitaan dapat dilakukan terhadap barang atau benda dikelompokan ke dalam tiga kelompok yaitu barang atau benda yang dipakai untuk melakukan kejahatan, berasal dari tindak pidana, atau barang atau benda hasil tindak pidana. Tindak pidana. Secara umum penyitaan dilakukan terhadap benda atau barang secara rinci diatur dalam Pasal 40 KUHAP dan terhadap tindakan tertangkap tangan benda atau barang yang memenuhi kualifikasi Pasal 40 KUHAP.
  • Dua orang atau lebih yang melakukan kejahatan dapat dikaulifikasikan sebagai turut serta melakukan tindak pidana harus dibuktikan bahwa dua orang atau lebih tersebut perbuatannya memenuhi dua unsur yaitu syarat subjektif dan syarat objektif melakukan perbuatan guna memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dituju.

Penulis adalah akdemisi Universitas Islam Indonesia (UII)

 

NID Old
3822