Perkebunan dan Program Kerja 100 Hari Gubernur Rohidin

Moh Fatichuddin

Oleh: Moh. Fatichuddin, Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Bengkulu

Salah satu program kerja 100 hari Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan Wakil Gubernur Bengkulu Rosjonsyah setelah dilantik 25 Februari 2021 adalah jaga stabilitas dan meningkatkan harga komoditas perkebunan. Sangatlah wajar jika sektor perkebunan menjadi salah satu program prioritas Gubernur Rohidin dalam 100 hari pertama karena betapa pentingnya sektor perkebunan bagi kehidupan penduduk Provinsi Bengkulu. 

Peranan sektor perkebunan dalam perekonomi di Provinsi Bengkulu tidak bisa dipungkiri sangat dominan. Pada tahun 2019 yang lalu, perkebunan memberikan andil 3,88 persen terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bengkulu dan 13 persen terhadap PDRB sektor pertanian. Selama lima tahun terakhir angka andil perkebunan tersebut mengalami penurunan, pada tahun 2015 peranan perkebunan mencapai angka 4,57 persen terhadap total PDRB.

Indikator lain yang menjadikan perkebunan layak mendapat perhatian dalam program 100 hari Gubernur adalah besarnya ketergantungan penduduk terhadap sektor perkebunan. Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS2018) BPS menyebutkan sebanyak 259.247 rumahtangga berusaha di sektor perkebunan. Kalau diasumsikan rata-rata jumlah anggota masing-masing rumahtangga adalah 4 orang (bapak dan ibu serta dua anak) dan penduduk Provinsi Bengkulu 2,01 juta jiwa (Sensus Penduduk 2020). Maka dapat dikatakan bahawa sekitar 50 persen penduduk Provinsi Bengkulu bergantung pada sektor perkebunan.

Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat Bengkulu pada bulan April 2021 mencapai angka 139,44 naik 0,18 poin dibanding bulan sebelumnya maret. Kenaikan indek harga yang diterima petani 0,93 lebih tinggi dibanding kenaikan indek harga yang dibayar oleh petani 0,12. Salah satu yang mungkin dapat menjelaskan kondisi ini adalah terjadinya kenaikan harga Kelapa Sawit (TBS) di tingkat petani/produsen. Kenaikan harga TBS terjadi sejak akhir tahun 2020 dan masih terjadi di triwulan awal 2021. Kenaikan tersebut mungkin merupakan dampak mulainya kebijakan pelonggaran aktivitas terkait Covid-19 dan optimismenya pasar terhadap kondisi covid-19. Jika disbanding subsektor lainnya, NTP perkebunan rakyat ini menduduki angka tertinggi, bahkan di atas angka NTP petani secara keseleruhan yaitu 129,42.

Dominasi Kelapa Sawit
Tahun 2019 produksi perkebunan Bengkulu didominasi oleh komoditas kelapa sawit yaitu 59,3 persen, disusul karet 21,5 persen, kopi 15,8 persen, kelapa dan kakau masing-masing 2,4 persen dan 1 persen. Komposisi produk perkebunan tersebut menyebabkan kecenderungan perhatian lebih pada kelapa sawit.

Pada tahun 2020 luas area perkebunan kelapa sawit Bengkulu mencapai 211,98 ribu hektar naik 2 ribuan hektar dibanding tahun 2019 yang mencapai 209,81 ribu hektar. Kabupaten Mukomuko menjadi kabupaten dengan lahan perkebunan sawit terluas yaitu 102,73 ribu hektar atau sekitar 48,46 persen dari luas lahan perkebunan sawit di Bengkulu. Kabupaten yang memiliki luas perkebunan sawit terkecil adalah Rejang Lebong dengan 0,77 ribu hektar, Lebong 0,24 hektar dan Kepahiang sebesar 0,11 hektar. 

Pelaku usah perkebunan selain dilakukan oleh rakyat, juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang berpusat di beberapa kota metropolitan. Tahun 2020 ada 63 perusahaan perkebunan, sebagian besar perusahaan tersebut bergelut dengan kelapa sawit dan karet. Untuk perkebunan rakyat merupakan bagian dari sektor pertanian, sangat mungkin menghadapi kondisi sumber daya manusia (SDM) yang perlu perhatian. Survei Angkatan Kerja NAsional (SAKERNAS) Agustus 2020 menyebutkan bahwa lebih dari 55 persen penduduk yang bekerja di sektor pertanian memiliki Pendidikan SD/tidak tamat SD/tidak pernah sekolah. Mengingat rumah tangga perkebunan lebih besar dibanding sub sektor pertanian lainnya.

Letak geografis Provinsi Bengkulu ikut berpengaruh terhadap kondisi perkembangan sektor perkebunan. Seperti wilayah provinsi lain di Pulau Sumatera, struktur tanah Bengkulu sangat berpotensi untuk pengembangan budidaya perkebunan, terlebih untuk kelapa sawit. Namun demikian kondisi Bengkulu belum memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan eksport langsung ke negara tujuan. 

Eksport Bengkulu masih memanfaatkan fsilitas dari provinsi lain sehingga sangatlah mungkin hal ini menjadi “diagnose” kenapa perusahaan perkebunan Bengkulu merupakan cabang dari perusahaan besar di luar Bengkulu. Industri CPO Bengkulu hanya menjadi “supporting” dari perusahaan-perusahaan di sekitar Bengkulu dan Jakarta. Sehingga tidak bisa menentukan sendiri bagaimana pola produksi, sangat tergantung kebijakan induk perusahaan. Pengaruh kondisi global yang terjadi, mungkin tidak berpengaruh siginifan terhadap produksi di Bengkulu selama perusahaan induk masih melakukan “order”. Jika biaya produksi di Bengkulu lebih rendah, maka sangat mungkin perusahaan akan memilih produksi di Bengkulu dibanding di lokasi induk.

Meskipun demikian kondisi global juga perlu menjadi perhatian, beberapa negara menjadi pesaing produksi TBS kemudian CPO Indonesia. Potensi Indonesia sebagai produsen TBS/CPO di dunia menjadi “catatan” tersendiri. Beberapa issue berkembang selama ini, bagaiaman kelapa sawit di Indonesia telah merusak lingkungan, sehingga dilarang untuk masuk ke negara-negara lain. Penentuan harga TBS/CPO di pasaran dunia dikuasai oleh negara tertentu. Pruduk perkebunan tidak hanya dipengaruhi oleh tahapan produksi tapi juga sangat bergantung pada “negosiasi” terhadap kebijakan-kebijakan negara lain yang memiliki pengaruh terkait produk tersebut.

Namun demikian kondisi pandemic covid-19 saat ini dapat menjadi faktor positif terhadap sektor perkebunan. Situasi yang mengharuskan manusia lebih lama tinggal di dalam rumah akan meningkatkan permintaan akan konsumsi mereka. Peningkatan permintaan yang terjadi sangat mungkin berpengaruh terhadap kenaikan harga produk perkebunan.

Pentingnya pendampingan
Perkebunan di Bengkulu sebagian besar dilakukan oleh rakyat sekitar 60 persen. Kebijakan sektor perkebunan yang diambil hendaknya bersinggungan langsung dengan rakyat. Untuk mencapai stabilitas harga perkebunan yang berkelanjutan perlu diterapkan strategi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat (community). Masyarakat (petani kebun) diberi pembinaan terhadap pengetahuan secara kompeherensif. Mereka perlu juga memahami kondisi-kondisi global yang sangat mungkin berpengaruh terhadap “value” produk perkebunan mereka.
Pendampingan pasca pelatihan atau pembinaan sangat diperlukan, pendampingan dapat merupakan bagian dari evaluasi kegiatan tersebut. Bagaimana petani melakukan penerapan keilmuan yang diterima saat pelatihan/pembinaan dalam kegiatan real di lapangan. Peningkatan kemampuan teknologi juga perlu dilakukan pada diri petani. Teknologi tepat guna sudah saatnya diterapkan dalam proses produksi perkebunan, serta proses pasca panennya.

Berbicara pasca panen maka diperlukan peningkatan kerjasama baik secara regional dengan provinsi-provinsi tetangga maupun secara global dengan negara-negara penghasil produk perkebunan dan atau negara-negara penentu tinggi rendahnya harga produk pertanian. “Negosiator” yang memahami kondisi pasar dan kondisi kearifan lokal sangat diperlukan.

Isu lingkungan yang selalu menjadi kendala bagi pemasaran produk perkebunan Indonesia bisa “direduksi”. Keunggulan produk perkebunan nusantara dapat tersampaikan kepada dunia. Kearifan lokal yang dimiliki tidak menjadi kendala dalam proses bisnis perkebunan, bahkan sangat mungkin menjadi stimulus peningkatan.
Lahan menjadi point yang tak kalah pentingnya dalam proses produksi perkebunan. Penambahan penduduk yang pasti akan diikuti peningkatan kebutuhan lahan, lahan sebagai tempat tinggal, lahan sebagai tempat usaha penduduk, lahan sebagai lokasi penopang kehidupan. Untuk itu perlu adanya penerapan pemanfaatan lahan perkebunan yang terpadu, lahan tidak akan bertambah sehingga sangat mungkin di suatu titik lahan dimanfaatkan untuk berbagai komoditi atau kegiatan. Teknologi tepat guna, tepat tempat dan tepat waktu menjadi penting dalam keberhasilan pemanfaatn lahan perkebunan terpadu ini.

Akhirnya dengan regulasi perkebunan yang berbasis masyarakat dengan memanfaatkan teknologi, peningkatan kualitas aksesibilias, pelatihan dan pembinaan petani serta penerapan pemanfaatan lahan perkebunan yang terpadu akan mampu menciptakan stabilitas harga produk perkebunan yang menguntungkan petani dan terjangkau oleh masyarakat.


#SelamatIdhulFitri1442H
#MohonMaafLahir Bathin