Ketok Palu Tarif Cukai Hasil Tembakau Naik: Pedang Bermata Dua kah?

ilustrasi

Oleh: Tri Utami BPS

Bengkulutoday.com - Pemerintah resmi menerapkan tarif baru Cukai Hasil Tembakau (CHT) per tanggal 1 Januari 2022 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, serta PMK Nomor 193/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau lainnya. Peraturan tersebut resmi mencabut peraturan sebelumnya yaitu PMK Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Dengan diperbaruinya PMK ini maka secara resmi Harga Jual Ecer (HJE) rokok Sigaret Kretek Mesin naik 12% dan 4,5% untuk Sigaret Kretek Tangan secara rata-rata. Sebagai informasi, cukai merupakan instrumen pemerintah dalam upaya discourage consumption atau pengurangan konsumsi akibat dampak buruk yang ditimbulkannya. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), produksi rokok nasional pada tahun 2021 diketahui sebesar 320 miliyar batang, naik jika dibandingkan tahun 2020 sebesar 298,4 Miliyar batang.

Hasil pungutan cukai rokok ini nantinya dikumpulkan oleh pemerintah pusat lewat DJBC dan dibagikan ke pemerintah daerah berupa Dana Bagi Hasil yang berasal dari Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). DBH CHT yang telah diterima tersebut bisa dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk kesehatan, kesejahteraan masyarakat, dan penegakan hukum. Selain itu DBH CHT bisa menjadi instrumen pemerintah daerah untuk memberikan insentif bagi pekerja dalam bentuk pengurangan pajak penghasilan (PPh). Sehingga harapannya kebijakan kenaikan tarif cukai ini sebagai cyclical policy dimana satu kebijakan untuk kebijakan yang lain, tidak hanya untuk mengurangi jumlah perokok aktif, tetapi juga sebagai instrumen pemerintah daerah untuk memperbaiki banyak aspek terutama kesehatan dan kesejahteraan.

Isu kesehatan santer disebut-sebut sebagai dampak jahat dari rokok ini, bagaimana tidak seperti yang telah diketahui bahwa rokok mengandung 7.000 bahan kimia dengan 250 diantaranya membahayakan kesehatan. Dari 250 zat berbahaya tersebut, setidaknya 70 zat diketahui dapat menyebabkan kanker utamanya kanker paru-paru. Selain menyebabkan kanker, merokok juga meningkatkan risiko terkena penyakit jantung, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), gangguan kehamilan dan janin, impotensi, osteoporosis, stroke, diabetes, katarak, dan radang sendi.

Selain itu, perokok aktif terbukti lebih rentan tertular Covid-19, karena langsung berkaitan dengan paru-paru dan terjadinya kontak fisik melalui jari dan mulut. Selain tertular, perokok yang terindikasi positif COVID-19 ditengarai sulit untuk melawan virus dan meningkatkan risiko gagal napas dan kematian. Rokok juga bisa memicu risiko stunting pada anak. Maka dari itu, seiring naiknya tarif cukai rokok yang cukup signifikan ini pemerintah berharap konsumsi rokok dapat berangsur menurun.

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kenaikan tarif cukai ini perlu dilakukan terkait dengan masalah pengendalian konsumsi rokok karena kenaikan jumlah perokok dari sisi finansial juga menjadi beban negara,. Perlu diketahui bahwa untuk tahun 2021 BPJS Kesehatan menggelontorkan dana sebesar Rp. 15,6 T untuk obati penyakit akibat rokok, apalagi pembiayaan iuran anggota BPJS ini mayoritas merupakan golongan anggota PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang seluruh iurannya ditanggung oleh pemerintah.

Selain itu, keputusan menaikkan tarif cukai rokok sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 mengenai peningkatan nilai indikator kualitas kesehatan manusia  dengan menurunkan prevalensi merokok pada anak. Melalui DBH CHT yang berasal dari penerimaan cukai rokok yang tersalurkan lewat pemerintah daerah ini diharapkan optimal untuk mengurangi angka stunting pada anak. Ditambah selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi.