Mantra Kehadiranmu

ilustrasi

Sebab bersembunyi di balik payung pelangi di bawah hujan, adalah satu-satunya cara untuk merasakan kehadiranmu, Bi.

Hujan mengguyur langit Bengkulu. Hujan pertama yang kurasakan di awal Oktober. Wangi tanah yang bersentuhan langsung dengan air hujan, membuatku menghirup napas dalam-dalam. Mencoba menikmati aroma magis yang mampu membawaku ke alam bawah sadar. Di mana kau telah menanti dengan senyuman hangat paling kurindukan di dunia nyata.

Tanpa menunggu lama, aku segera menghambur menuju halaman dengan payung pelangi milikmu yang masih kusimpan setelah tiga tahun berlalu. Sama seperti yang sudah-sudah, aku berdiri di bawah payung seraya merapal mantra kehadiranmu.

 “Payung pelangi, payung cinta. Tujuh warna keindahan perlambang kebahagiaan. Dengan segala kasih yang ada di bumi, kumohon datanglah, Bi.”

Sedetik kemudian, bisa kurasakan hadirmu walau samar. Aku tersenyum simpul. Untuk sesaat lamanya, kita sama-sama berbagi payung. Berlindung dari hujan yang mengguyur wajah bumi. Untuk sesaat lamanya pula, kurasakan hangat yang pernah mendekap saat kau masih ada di sampingku.

Sampai sebuah suara membuatku tersentak, dan kau menghilang layaknya asap yang diterbangkan angin. Jauh menembus langit dan bergabung bersama awan-awan putih.

Aku menoleh cepat dengan mata setengah melotot, saat tahu seseorang yang membencimu itu berdiri di depanku dengan pandangan bertanya.

 “Kau sedang apa?” tanya laki-laki bergigi kelinci, yang namanya sangat tidak ingin kusebut.

 “Apa pedulimu? Pergi sana!”

 “Kau galak seperti biasanya, Aiyarra. Hm, melihat sikapmu begini, aku tahu apa yang sedang kau lakukan.”

 “Kalau sudah tahu kenapa masih bertanya?”

Laki-laki yang mengenakan tudung jaket untuk melindungi kepalanya dari guyuran hujan itu tersenyum. Yang di mataku terlihat seperti mengejek. Namun, seperti apa yang pernah kau ucapkan dulu, aku harus bersikap tenang dan anggun. Seperti layaknya gadis Jawa yang sebenarnya. Pun karenamu pula, sampai hari ini, aku selalu mengenakan kebaya ke mana pun pergi.

 “Aku bertanya-tanya, sampai kapan kau akan melakukan hal bodoh ini?”

 “Ini bukan hal bodoh! Hati-hati dengan ucapanmu.”

 “Ya, ya, terserah padamu. Aku hanya ingin mengingatkan satu hal, bahwa dia sudah tidak ada.”

Aku tak menyahut ucapan saudara kembarmu itu. Yang bahkan wajahnya tak ingin kulihat sekalipun serupa sepertimu. Kubalikkan tubuh menghadap pohon tanjung yang kita tanam bersama-sama dulu. Sepuluh tahun lalu, saat semuanya begitu indah. Seperti sebelumnya, kuucapkan lagi mantra kehadiranmu.

“Payung pelangi, payung cinta. Tujuh warna keindahan perlambang kebahagiaan. Dengan segala kasih yang ada di bumi, kumohon datanglah, Bi.”

***

 “Kau tahu kenapa aku sering membawa payung dengan warna pelangi?”

 “Kenapa?”

 “Karena kata Ibu, roh-roh jahat takut akan sinar pelangi.”

 “Roh-roh jahat?”

Kau mengangguk, dan mulai menjelaskan. “Kau ingat waktu kecil dulu aku sering sakit dan tidak masuk sekolah?” Kuanggukkan kepala tanda aku masih mengingat jelas masa kecil kita.

“Sebenarnya aku bukan sakit biasa. Aku diganggu oleh makhluk tak kasat mata. Lewat seorang kenalan yang mengerti akan hal-hal gaib, menyarankan agar Ibu membawaku ke orang pintar. Dari orang pintar itulah, Ibu mendapatkan payung dengan tujuh warna pelangi. Katanya, payung itu harus dikembangkan di atas kepala tempat tidurku.”

 “Dan sejak saat itu kau tidak diganggu roh jahat lagi?”

Kau mengangguk. Namun, ada segurat kekhawatiran di wajahmu. Aku tahu, ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku.

 “Dan karena takut diganggu di tempat umum, kau juga selalu membawa payung warna pelangi?”

 “Benar. Belakangan ini, aku merasa sedang dikuntit. Makanya terkadang aku sering memakai payung walau tidak hujan. Setidaknya aku merasa aman untuk beberapa saat.”

 “Apa tidak ada benda lain? Kenapa harus payung? Aneh sekali.”

 “Aku juga tidak tahu. Mungkin karena sifat payung adalah melindungi?”

 “Tapi, aku juga melindungimu, Bi.”

Kau tersenyum, lalu mengusap kepalaku yang tertutup topi rajut. Tanganmu turun ke bahu, hingga akhirnya ke pergelangan tangan. Sesaat lamanya, kau menggenggam erat tanganku seolah tak ingin lepas.

 “Terima kasih, Aiyarra. Kau selalu baik padaku.”

***

Aku tersadar. Kulirik langit yang kini tersaput warna oranye. Setelah menghela napas dalam, kulipat payung warna pelangi milikmu, dan berjalan masuk ke rumah.

Setidaknya, hari ini aku bisa kembali merasakan hadirmu. Mengenang nyata apa-apa yang terjadi antara kita. Sebuah ikatan bernama teman yang pernah kuharap lebih.

 “Bi, aku merindukanmu.”

***

Aiyu A Garaa, Cerpenis Bengkulu