Maraknya Cyber Bullying dan Pelanggaran Etika Digital di Instagram

ilustrasi untag Surabaya repository

Bengkulutoday.com - Media sosial kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di zaman modern. Mulai dari remaja, dewasa, dan lansia bahkan anak-anak ramai menggunakan Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, untuk bermedsos ria di dunia maya. Namun, di balik ragam kesenangan yang ditawarkan, media sosial juga mempunyai sisi gelap. Sisi gelap itu adalah perundungan atau penyerangan secara verbal terhadap pengguna atau stilah yang lebih dikenal adalah cyber bullying.

"Bullying" adalah bentuk dari tindakan atau tingkah laku agresif seperti mengganggu, menyakiti, penghinaan, menyudutkan, melecehkan bahkan mengancam yang di lakukan secara sadar, bahkan secara sengaja yang dampaknya tentu saja menyebabkan gangguan secara mental pada diri seseorang yang telah di-"bully" seperti takut, stres, cemas dan bisa depresi.

Dikutip dari Kompas.com (18/04/21). Berdasarkan data yang ditampilkan Drone Emprit, perundungan siber ini paling banyak terjadi di Instagram, yakni sebanyak (42 persen). Lalu disusul dengan Facebook sebanyak (37 persen), Snapchat (31 persen), WhatsApp (12 persen), YouTube (10 persen), dan Twitter (9 persen). Pemerhati media sosial sekaligus pencetus Drone Emprit Ismail Fahmi menjelaskan, mengapa hal ini bisa terjadi. "Alasan utama orang kena cyber bullying adalah penampilan. Wajar saja, di Twitter penampilan enggak penting. Banyak yang anonim. Kalau di Instagram, penampilan adalah 'segalanya'. Dan itu sumber bully nomor wahid," ujar Fahmi dalam penjelasannya di artikel Drone Emprit (21/3/2021).

Kehadiran medsos seperti Instagram, Facebook, Twitter dan lainya membuat penggunaan komunikasi digital ini berkembang dengan sangat pesat. Penyebaran informasi sangat cepat dan dapat dilakukan secara bebas kapan dan di mana pun. Inilah yang menyebabkan media sosial sangat populer dan digunakan banyak orang. Jejaring sosial ini awalnya dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi, namun kini sudah berkembang sebagai sarana Hiburan, Promosi, Bisnis bahkan bisa dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan orang lain.

Medsos diibaratkan bak pisau bermata dua. Dizaman modern seperti sekarang media social tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi dan komunikasi secara cepat, namun juga membawa dampak negatif. Pengguna medsos tentu tidak asing lagi dengan dampak buruk yang ditimbulkan, yakni menyebarkan informasi hoaks, ujaran kebencian, memutarbalikkan fakta, provokasi serta hal-hal yang berkaitan dengan SARA termasuk "cyber bullying". Penyebaran konten negatif ini sangat sulit dicegah lantaran masyarakat masih belum dibekali dengan informasi yang cukup untuk menangkal informasi-informasi seperti itu.

Saat berselancar di medsos, sangat sulit untuk meredam konten negatif maupun komentar-komentar yang negatif lantaran masyarakat kita masih belum dibekali dengan informasi yang cukup untuk menangkal informasi-informasi seperti itu. Hal ini tentu saja memprihatinkan melihat anak bangsa penerus di masa depan telah banyak melakukan pelanggaran etika di medsos.

"Bullying" adalah bentuk dari tindakan atau tingkah laku agresif seperti mengganggu, menyakiti, melecehkan bahkan mengancam yang di lakukan secara sadar, bahkan secara sengaja yang dampaknya tentu saja menyebabkan gangguan secara mental maupun psikis pada diri seseorang yang telah di-"bully" seperti takut, stres, cemas dan bisa depresi. Dengan adanya medsos ini, "cyber bullying" sudah pasti akan semakin marak apalagi di Negara kita Indonesia. Biasanya pelaku akan menggunakan akun palsu untuk melancarkan serangan terhadap seseorang di media sosial. Dikutip dari twitter @ismailfahmi Alasan terbesar orang dibully siber adalah penampilan. Makanya IG yang banyak menyajikan penampilan jd pusatnya.

Semua hal yang diunggah ke media sosial tentu saja akan menimbulkan pro dan kontra. Terlebih menggunakan medsos, seseorang dengan mudahnya memberi komentar kepada orang lain, sekalipun tidak saling mengenal. Komentar yang tidak pantas tentu saja akan membuat orang lain yang membacanya bisa merasa sakit hati. Apalagi jika menggunakan media sosial dan membuat 'story' yang berisi pernyataan yang belum tentu kebenarannya diketahui banyak orang bahkan menjadi viral sangat mudah untuk dilakukan.

Dalam konteks etika komunikasi, filsuf Aristoteles lewat pemikirannya "the golden mean" mengatakan kepalsuan, kebohongan, merupakan kejahatan. Sementara kebenaran adalah suatu wujud kemuliaan. Disana aristoteles menjelaskan etika lebih bersandar pada karakter ketimbang perilaku.

Maka dari itu, sebelum mengatakan atau menyampaikan sesuatu kepada orang lain kita harus memiliki rasa tanggung jawab untuk apa yang kita tulis di media sosial karna perkataan ataupun komentar negatif yang kita berikan itu akan berdampak besar pada korban, jangan sampai kita menjadi pelaku bullying yang hanya mengurusi urusan orang lain padahal urusan dirikita sendiri belum tentu sudah benar. Penggunaan medsos yang tidak terkontrol dapat berujung pada tindak kriminal dan menimbulkan konsekuensi hukum. Hal ini sangat penting karena kita harus tetap memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain.

Oleh: Teddy Syah Fanroyen Mahasiswa Jurnalistik Unib