Matahari Terbit di Hatimu

Aiyu A Gaara

Sebab terkadang orang-orang sekadar lewat ke kehidupanmu, dan tidak berniat menetap. Apalagi membuat kisah hebat.

Air langit turun tanpa pertimbangan sore itu, dan kau berdiri di bawah pohon cemara yang daunnya tidak cukup rimbun untuk melindungimu dari tetesan hujan. Tanpa pertimbangan pula, kau menetap lama tak berniat pindah ke tempat yang memiliki atap seperti orang-orang yang saat itu berlarian, menembus keramaian yang di matamu tak lebih ramai dari gemuruh di hatimu kala mengingatnya.

Kau menyesap es kopi yang dibeli sebelum air langit menetes, dan sekarang sedikit menyesalinya meski tadi kautahu mendung telah memayungi langit di kotamu yang tidak banyak orang tahu. Beberapa kenalan di media sosialmu mengira bahwa kota tempat pengasingan Bung Karno pada tahun 1938 hingga 1942 itu menjadi bagian Pulau Sulawesi, beberapa teman lainnya menyangka bahwa kotamu masih bagian Sumatera Selatan. Padahal Bumi Rafflesia, sebutan lain kotamu, adalah provinsi yang berdiri sendiri dengan ibu kota bernama sama; Bengkulu. Namun, kau tidak begitu memedulikannya. Kau hanya membenarkan apa yang seharusnya dibenarkan. Bagimu, orang-orang harus tahu sejarah negeri sendiri baru sejarah negeri orang.

Kau menengadah. Langit makin kelam. Hujan mungkin masih lama berhenti. Dengan sedikit putus asa karena merasa rencanamu melihat senja hari ini gagal, kau pun menyandar pada batang pohon sembari menatap aspal jalanan. Kau tidak berniat memandang sekitar sebagaimana biasa, kau takut orang yang masih kautunggu kehadirannya itu tidak berada di antara kerumunan dan kau lagi-lagi harus menelan kecewa.

Lagi, kau menyesap es kopimu yang masih penuh. Kau juga tidak berniat membuangnya lantaran cuaca dingin sangat tidak tepat untuk meminum minuman itu. Kau hanya ingin memegangnya, merasakan setiap cerita yang pernah tercipta seminggu lalu. Sehari sebelum Festival Bumi Rafflesia ditutup. Kala orang itu datang tanpa permisi ke kehidupan biasa-biasamu.

***

“Hasil fotomu bagus. Boleh fotokan saya?”

Kalimat pertama dari orang yang tidak kau kenal yang berdiri di belakangmu saat kau tengah memeriksa hasil jepretan dari kamera digital, sontak membuatmu terlonjak. Kau langsung berbalik. Menatap seorang pemuda berambut gondrong dengan ikat kepala yang menutupi sebagian dahinya tengah tersenyum padamu. Sebuah gitar tersampir di pundaknya.

“Hei, bagaimana? Boleh fotokan saya?” ulangnya.

Tidak ada perasaan canggung saat ia bertanya, seolah kalian adalah teman lama. Sedangkan kau yang aslinya tidak mudah akrab dengan orang lain merasa sangat risih. Namun, untuk menghormati orang yang telah memuji hasil jepretan kamera kesayanganmu itu, kau pun memutuskan untuk menjawab.

“Maaf, saya tidak mengambil foto makhluk hidup.”

“Termasuk manusia?”

“Manusia itu makhluk hidup,” tandasmu, sedikit sebal dengan pertanyaan konyolnya.

“Saya tahu, tapi biasanya hanya hewan. Saya punya kenalan yang begitu, dia hanya memotret keindahan alam, tanpa makhluk hidup. Tapi dia juga memotret manusia, karena dia fotografer wedding.”

Kau tidak berniat menjawab meski lawan bicaramu yang tidak kaukenal itu bicara panjang lebar. Kau tidak tertarik sedikit pun padanya. 

“Saya menganggu, ya?” tanyanya, yang hanya kaubalas dengan senyum tipis tidak lebih dari tiga detik. Kau cukup percaya bahwa waktu tiga detik bisa membuat seseorang jatuh cinta, pun sebaliknya. Dan kau tidak mau pemuda di depanmu ini merasa demikian.

“Kalau begitu fotokan saja gitar saya di bunga rafflesia itu. Untuk kenang-kenangan. Saya dari Bandung,” terangnya. 

Kau tidak bisa menolak. Maka, dengan kameramu juga kamera gawainya, kau mulai memotret, beberapa kali. Setelahnya, kau menyodorkan kembali gawai miliknya. 

“Terima kasih. O iya, perkenalkan nama saya Gifri. Panggil Gi saja.” Ia mengulurkan tangan, dan kau merasa tidak enak jika tidak menyambutnya.

“Vinea,” timpalmu pendek.

“Kamu sudah melihat pamerannya? Saya belum. Mau pergi bersama? Kebetulan, saya tidak punya kenalan di sini.”

Lagi-lagi ia menjelaskan tentang keadaannya. Kau yang pada dasarnya adalah tipe orang yang merasa iba terhadap orang lain pun akhirnya mengangguk. Meskipun tadi kau baru saja keluar dari ruang pameran di lapangan Sport Center yang telah disulap sedemikian rupa. Lantas untuk kedua kalinya di sore itu, kau pun melihat lagi pameran yang ditawarkan kotamu. 

Ada pameran kopi Bengkulu di mana terdapat beberapa stan yang menyajikan beragam jenis kopi. Masuk ke ruang pameran, kau kembali disuguhkan oleh lukisan-lukisan yang dilukis oleh pelukis lokal. Tadi kau sudah memotret hampir semua lukisan di sana. Stan batik besurek serta makanan khas Bengkulu, aksesories, produk unggulan dari kabupaten di Bengkulu, dan masih banyak lagi. 

Pemuda di sebelahmu tampak antusias sekali. Sedari tadi ia tidak berhenti memotret dengan kamera gawainya. Sesekali ia menyentuh barang yang dipajang di sana, bertanya pada si penjual, tetapi tidak membelinya. Ia hanya penasaran, kemudian melihat stand lainnya sambil sesekali pula mengajakmu bicara. Sampai akhirnya ia membelikanmu es kopi dan mengajakmu duduk di salah satu kursi yang telah disediakan.

Kau memperhatikannya yang entah kenapa mulai memetik gitar. Terdengar melodi indah dari permainan gitarnya, dan suaranya yang ternyata sangat merdu itu lambat laun membuat kesalmu hilang. Tanpa kau perkirakan pula, orang-orang mulai berkumpul di sekitar kalian.

Saat itu kau sedikit senang karena telah mengenal pemuda bernama Gifri itu. Sebab kau tidak memiliki teman dekat, sekadar orang-orang yang datang dengan kepentingan lalu pergi begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa. Kau lebih suka berteman dengan alam. Pergi ke banyak tempat hanya untuk memotret pemandangan bagus, atau berdiam diri di perpustakaan daerah.

Tepuk tangan bergema seiring petikan gitar terakhir. Orang-orang hendak memberikan uang—mungkin dikiranya orang yang baru kaukenal itu sedang mengamen—tetapi langsung ditolak oleh pemuda yang kalau dilihat-lihat memiliki wajah tampan. 

“Saya tidak mengamen. Ini lagu untuk teman baru saya,”  ungkapnya seraya melirik ke arahmu.

Orang-orang mengangguk, tetapi mereka minta dinyanyikan satu lagu lagi, dan pemuda itu tak kuasa menolak. Maka, petikan gitar pun kembali terdengar, dikuti suara merdunya menyanyikan lagu Mandarin, Just Friends miliknya Chen Xiang yang sangat kauhapal. Tanpa sadar kau pun ikut bernyanyi. Dia tampak tersenyum, kau pun malu. Namun, orang-orang sepertinya tampak menikmati duet kalian.

Usai lagu habis, suara tepuk tangan kembali terdengar. Setelahnya orang-orang bubar. Beberapa gadis yang saat itu menonton menghampiri teman barumu, mengulurkan kantong kresek berisi kue perut punai yang merupakan jajanan khas Bengkulu. Temanmu menerimanya dengan senang, dan kau memandang dengan perasaan tak menentu. 

“Orang Bengkulu baik-baik, ya,” katanya setelah para gadis itu pergi.

Kau tak lekas menjawab, sebaliknya menyesap es kopimu. 

“Saya harus pulang.” Kau beranjak dari kursimu. Rencana melihat senja kau urungkan lantaran suasana hatimu yang tiba-tiba berubah dalam waktu tiga detik.

“Tunggu, kamu besok ke sini lagi?”

“Tidak tahu, kenapa memangnya?”

“Saya mau bertemu denganmu lagi kalau boleh. Besok hari terakhir festival, ‘kan?!”

Kau mengangguk, untuk membenarkan bahwa besok adalah hari terakhir festival Bumi Rafflesia, dan bukan berarti bahwa besok kau akan datang lagi. Namun, pemuda di depanmu sepertinya salah menafsirkan.

“Baiklah, Vi, sampai bertemu besok di sini. Saya tunggu di depan bunga rafflesia sana,” katanya menunjuk replika bunga rafflesia di dekat gerbang bertuliskan ‘Rafflesia Coffee Culture’. “Besok lihat senja bersama, ya,” katanya lagi, lalu tersenyum.

Kau ingin membantah, tetapi senyumnya saat itu mengurungkan niatmu. Kau lantas pulang dengan banyak pertanyaan di benak tentang hatimu yang tiba-tiba berdebar.

Besoknya kau kembali lagi ke tempat yang sama dan di waktu yang sama, sore sebelum matahari kembali ke peraduannya. Menunggu pemuda bernama Gifri itu di depan replika rafflesia. Namun, menjelang matahari terbenam, pemuda itu tak tampak batang hidungnya. Kau mendengar suara petikan gitar, dan kau melihat sekitar, tetapi tidak ada orang yang bermain gitar saat itu. Atau mungkin alam bawah sadarmu yang tanpa sengaja menciptakan suara itu. Entahlah. Kau tak tahu. Hanya saja saat ini kau merasakan sesuatu yang aneh di hatimu. Perasaan rindu.

***

Air langit berhenti turun tiba-tiba. Kau memandang langit kelabu di atas sana, lalu menatap dirimu sendiri. Kau merasa sangat bodoh karena masih saja menunggu pemuda itu di sini—Sport Center. Seharusnya kau sadar, bahwa mungkin saja pemuda itu telah kembali ke kotanya—Bandung. Dan pertemuan serta perkenalan kalian kemarin hanyalah sesuatu yang tidak semestinya diingat. Sebab terkadang orang-orang sekadar lewat ke kehidupanmu, dan tidak berniat menetap. Apalagi membuat kisah hebat.

Kau tersenyum kecut, dan memilih pulang. Langit sangat tidak bersahabat padamu hari ini. Kau membuang es kopi yang tidak dingin lagi dan masih tersisa setengah ke tong sampah. Berjalan menuju parkiran, sambil menimbang-nimbang apakah kau akan datang lagi ke tempat ini atau tidak.

Sebab sekarang keadaan hatimu sama seperti suasana langit. Kelabu.

***

Bengkulu, 10 Agustus 2019

Aiyu A Gaara, Cerpenis