Mengenang 97 Tahun Pelitaku "Kupanggil Ia Mbu

Fatimah

Sebuah catatan Puti Guntur Soekarno di Hari Lahir Fatmawati

Bengkulu 97 tahun lalu. Tanggal 5 Februari 1923 lahir seorang perempuan penjahit Sang Dwi Warna Merah Putih untuk bangsa ini, beliaulah Ibu Fatmawati Sukarno (Fatimah). Sederhana mungkin, seakan hanya menjahit, mungkin semua orang bisa mengerjakannya. Tetapi sejarah berkata lain, jahitan itu selalu menghadirkan makna. Makna sebuah peran kaum perempuan di tengah revolusi bangsanya. Makna yang hanya akan memiliki kedalaman oleh hadirnya sebuah kesaksian. 

Saya memanggilnya dengan panggilan kesayangan Mbu... 

Mbu.... beliau lahir dari pasangan Hasan Din seorang pengusaha dan pengurus Muhamadiyah dan Siti Chadijah seorang keturunan putri Kesultanan Indrapura Pesisir Selatan Sumatera Barat. Sebuah warna historis yang punya makna. 

Saya belajar mengenai perjuangan-perjuangan sederhana juga cinta dan ketulusan kepada bangsanya dari beliau. Beliau suka berorganisasi. Aktif dalam organisasi Naysatul Asyiyah, sebuah organisasi perempuan dibawah Muhammadiyah. 

Saya merasakan langsung ajaran nilai-nilai Islam dari beliau.

Lantunan ayat suci al quran begitu merdu kerap sekali dibacanya, lantunannya seperti selalu terdengar di kepalaku saat ingatanku menemuinya....lantunan kidung suci yang menerangi hati dan pikiranku laksana lilin pelita untuk langkahku pun hingga saat ini. Langkah keteguhan seorang pejuang dalam sunyi. 

Kecintaan beliau kepada kemerdekaan Indonesia begitu dalam. Menjelang akhir hidupnya dalam perjalanannya ke Tanah Suci beliau menulis:

_….Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku. Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan, keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdo’a untuk cita-cita seperti semula yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan sampai terbang Indonesia Merdeka._

Meneladani keteguhan itu.... aku berdoa selalu untukmu. Pun berdoa untuk bangsa ini. Doa-doa yang selalu beliau panjatkan kepada Allah SWT. 

Berdoa dan berperan dengan caranya. Cara perempuan Indonesia. Seperti nyanyi sunyi. Cara berjuang perempuan Indonesia dalam revolusi.

Perjuangan yang sunyi... 
Perjuangan yang tulus ikhlas nan luhur untuk kemerdekaan bangsanya, yang *"JANGAN SAMPAI TERBANG"*. Seperti begitu 'ada'-nya peran beliau. 

Negara memberinya penghormatan, sebagai Pahlawan Nasional kepada Ibu Fatmawati.

Sejarah mencatat dan kesaksian memberinya makna. 

Aku belajar dari semuanya itu. Dengan makna yang kudapatkan langsung dari kesaksian, kebersamaan dan kehangatan seorang nenek yang membimbing penuh cinta cucunya. 

Kesaksian itu, aku mengenangnya... 
Mengenangmu... 
Mbu sayangku semoga bahagia di sana.... 

***