Moderen Itu

Ilustrasi

Marta gelisah dan takut. Beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi. Perut besarnya sakit dan merembet ke pinggang. 

"Apakah aku akan melahirkan?" Gelisah dan takutnya menjadi-jadi ketika memikirkan ini. 

"Di mana ya?!" Marta mencari sesuatu dalam rak pakaiannya. Membongkar dan melemparkan semua pakaian ke lantai. 

"Tidak ada!" Desisnya semakin gelisah. 

Dalam kepanikan, dan gerak cepat yang mampu dia lakukan, Marta melihat yang dia cari ada di bawah tempat tidur, sehelai kain panjang pemberian neneknya di kampung dulu, sebelum Marta meninggalkan rumah, menuju kota untuk kuliah. 

Perutnya semakin sakit. Ada gerakan-gerakan yang mendesak-desak mau segera keluar. Marta terengah-engah menahan sakit dan menahan agar si bayi jangan keluar dulu. 

"Jangan sekarang...!" Gumam dari mulut yang mendesah-desah tersebut. 

Marta berusaha memeriksa sekeliling. Melongok dari jendela kamar kosnya. Lalu membuka pintu, selanjutnya ke dapur, keluar dari pintu belakang. Melangkah tergesa-gesa dan agak terseok-seok melewati pekarangan belakang kos, menuju semak-semak. 

Wanita yang akan melahirkan ini mencari tempat sepi, yang jauh dari lalu lalang dan pendengaran orang, bersandar pada pohon pisang. Perempuan muda ini kesakitan luar biasa. Cairan keluar dari bagian bawah tubuhnya. 

"Apakah ini air ketuban?" Bisik hatinya sambil tangan mencari-cari pegangan. 

"Sakiiiittt....!" Dia berteriak tertahan. 

Mulut Marta megap-megap menahan sakit. Tangan yang lemah mencengkeram pohon pisang dan mengedan panjang. Oh, belum juga keluar.  Marta kelelahan, lalu menarik nafas panjang, dan mengedan kuat-kuat. Marta merasakan ada yang sobek dan sobek tersebut semakin membesar dengan rasa sakit yang tak terhingga. Hampir saja mulut mungil dan seksinya melepaskan teriakan sekuat yang dia bisa. 

Mata indahnya yang selalu dipuji oleh para lelaki, saat ini menerawangi udara dan dirembesi air mata. Kunang-kunang bagai beterbangan di depan mata itu. Dunia berputar cepat seakan-akan menggulung tubuh yang selalu dia dibanggakan, karena selalu menggairahkan, itu kata para lelaki. 

"Jangan! Tidak! Jangan mati sekarang!" Gumam Marta sambil menahan sakit tak terhingga. 

Marta terengah-engah, selain menahan sakit, juga berusaha mengeluarkan bayi yang sesaat lagi utuh keluar dari dalam tubuhnya. Kedua tangan berusaha menguatkan pegangan. Tubuh yang lelah mengambil posisi. Menarik nafas dalam-dalam, lalu mengedan untuk terakhir kalinya. 

"Sakiiiittt t..... Laki-laki bangsaaaattt... " Teriakan yang hanya dia sendiri yang mendengar diiringi oleh tangis bayi yang lahir utuh ke dunia. 

Melahirkan adalah pertarungan nyata bagi kaum perempuan dan justru pertarungan antara mati dan hidup ini di rindukan oleh para wanita. Sebelum waktu itu tiba, mereka akan mempersiapkan banyak hal. 

Berbeda dengan Marta. Dia tidak mempersiapkan banyak hal untuk mengahadapi kelahiran seorang bayi. Dia cuma mempersiapkan sedikit pengetahuan jika harus melahirkan sendiri. Dan dia berhasil. 

Masih dengan kelelahan wanita yang pernah bercinta di bawah pohon sawit beralaskan jaket miliknya bersama sangat penikmat tubuhnya, membersihkan diri, Marta segera bangun dan melangkah perlahan, meninggalkan pokok pohon pisang yang telah jadi saksi usahanya untuk mengeluarkan bayi yang selama ini berlindung dan berkembang dalam tubuhnya. Sebelum mengayunkan langkah pertama, Marta melirik sesaat pada bayi yang bergerak-gerak dan menangis tersebut. 

"Perempuan... " Dengusnya.

Dalam langkah yang sempoyongan, Marta mengecek kembali barang-barang yang harus ada saat ini, dan telah dia persiapkan sebelum meninggalkan kamar kost. Pakaian ganti, Hp, uang, dan obat anti infeksi. 

"Lengkap!" Ucapnya menahan rasa nyeri. 

Marta melangkah menjauhi tempat pertarungannya dan kamar kosnya dengan kesakitan. Dia berusaha mencari sumur, atau sungai, atau apalah yang bisa dijadikan untuk membersihkan diri. 

Dan untungnya, di pinggir sawah, sekitar tiga ratus meter dari lokasi dia melahirkan, ada sebuah sumur. Sepertinya sumur ini sering dimanfaatkan pemiliknya, karena kondisi sumur tersebut bersih, ada sabun juga ada timba. 

Marta memanjangkan lehernya ke sekeliling. Memperhatikan, jangan sampai ada yang melihat dirinya. Dengan menahan rasa sakit dan perih di bagian bawah tubuhnya, Marta berjongkok. Menimba air lalu mengucurkan ke seluruh tubuh. 

"Ohhhh.... Periiiiiihhhh.... "

Tidak dihiraukan semua siksaan itu. Dia harus cepat menyelesaikan mandinya. Sebelum orang-orang menemukan bayinya dan sebelum polisi menangkap dirinya yang telah tega meninggalkan bayi yang baru saja dia lahirkan. 

Pondok sawah yang ada di dekat sumur dijadikan tempat untuk berganti pakaian. Pakaian kotor yang penuh darah dia kubur di belakang pondok. 

Marta merasa haus. Dia memeriksa sekeliling pondok jika saja ada air yang tersedia. Dan, dia beruntung. Di bawah pondok ada air yang masih ada dalam ceret yang dijadikan sebagai tempat memasak air tersebut. Masih hangat. Rupanya si pemilik pondok baru saja meninggalkan tempat ini. 

Setelah minum, Marta meraih ponsel dalam tas kecil yang dia bawa dari kamarnya tadi. Mengetik sesuatu pada aplikasi WA. 

"Anakmu sudah aku lahirkan. Perempuan. Aku tinggalkan di bawah pohon pisang belakang kosan." 

Lalu di kirim pada seseorang yang dikasih nama 'Anak Anjing'! 

Wanita yang sudah jadi korban dari seseorang yang dia tulis nama 'Anak Anjing' tersebut merenung sejenak. Menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. 

"Ke kantor polisi!" Itu tekadnya. 

Dia harus melaporkan si 'Anak Anjing' ke polisi. Karena dia tidak menginginkan si lelaki bebas tanpa beban dalam menjalankan hari-hari di sisa hidupnya. Dan jangan sampai ada lagi perempuan yang mendapatkan situasi seperti dia alami selama ini dan baru saja terjadi. 

"Aku akan bertanggung jawab!" Bisik laki-laki itu sebelum dan sesudah kejadian pertama di rumah baru dibeli orang tua sang laki-laki. 

Kalimat itu sempat menghiburnya, hingga mereka melakukan setiap kali ada keinginan dan kesempatan. Tidak ada bedanya dengan orang yang telah sah menikah. 

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, Marta tidak juga kunjung datang ritual alami bulanan. Cemas bercampur takut, dia menyampaikan kondisi dirinya yang sering mual dan sudah tidak datang bulan lagi pada si pacar. 

"Aku hamil... " Bisik Marta pada si laki-laki, pada suatu hari di belakang kampus. 

"Jadi, bagaimana?" Jawab si laki-laki. Ringan tanpa beban, tanpa kekhawatiran. 

"Ya, kamu harus bertanggung jawab seperti janjimu dulu."

"Tapi kita masih kuliah... " Santai saja kalimat itu dari mulut pemilik tubuh yang lagi bersandar di dinding bangunan kampus. 

"Jadi, bagaimana...?" Kali ini Marta yang mengeluarkan kalimat yang sama. 

"Gugurkan saja!"  Sepertinya laki-laki ini sudah sangat berpengalaman. 

"Tapi kamu bilang, akan bertanggung jawab... " Marta mulai cemas dan takut. 

"Ya, aku akan bertanggung jawab untuk menggugurkannya... "

Marta memperhatikan wajah dan mata si pacar. Mencari-cari, kalau saja kalimat barusan tidak serius. 

"Kita masih kuliah. Aku tidak akan menghentikan kuliahku karena itu. Dan orang tuaku tidak akan mengijinkan aku menikah sekarang."

Marta melongo dan semakin melongo lagi ketika mendengar kalimat berikutnya. 

"Kalau tidak mau digugurkan, kita putus!"

Lalu pria yang telah menenggelamkan Marta dalam rayuannya beberapa bulan ini, melangkah meninggalkan gadis bucin tersebut dalam kebingungan dan menangis. 

Saat itu, gadis manis kembang desa dengan orang tua yang memiliki empat hektar sawit ini merasa seperti tak berharga lagi bagi pemuda selama ini sering berkata tidak bisa hidup tanpa dirinya, sekarang menjauh dan hilang di balik tembok gedung. 

"Tidak! Aku tidak bisa hidup tanpa dia... " Teriak sisi hatinya yang melankolis. 

"Tapi aku juga tidak bisa hidup dengan perut yang semakin lama semakin membesar ini... " Lanjut sisi hati tersebut kemudian. 

"Kalau gitu, ya gugurkan saja...!" Bisik sisi hatinya yang lain. 

Hingga senja menjelang, Marta belum menemukan jawaban atas malapetaka yang baru saja dia alami. Laki-laki yang selama ini dia serahkan jiwa, raga dan hartanya, telah mengorbankan dirinya pada altar kenistaan. 

Semakin hari Candra, demikian nama laki-laki pacar yang memacarinya demi nafsu tersebut semakin sulit di temui. Pesan WA hanya di read, itupun beberapa hari kemudian, ditelpon tidak menjawab. Ketika di datangi ke rumah, bukan jawaban yang dia terima, tapi ancaman jika tidak melayani nafsunya saat itu. Di kampuspun sudah tidak dapat menemuinya lagi. 
Kalaupun dapat ditemui, itu karena laki-laki itu mau minta uang. Selanjutnya dia akan menghilang bersama teman-temannya ke tempat bilyard atau cafe-cafe yang menyediakan hiburan malam dan minuman memabukkan. 

Seperti biasa, perilaku orang yang baru saja melek dunia. 

"Baiklah kalau begitu...!" 

Perempuan yang selama ini diperbudak oleh cinta dan nafsu ini mengambil keputusan di saat ambang keputus-asa-annya. Dia tidak akan mengorbankan lebih banyak lagi perasaan, uang, nama baik dan kemerdekaannya untuk laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab itu, pada suatu waktu, ketika dia akan menggugurkan kandungannya yang sudah memasuki bulan ke empat, dan pemilik benih tersebut tidak datang seperti janjinya. 

Esoknya, Marta mengambil keputusan untuk cuti kuliah dan pindah kosan. Usahanya mengajak mahasiswa ayah dari benih dalam perutnya untuk mengeluarkan embrio tersebut gagal. Marta tidak bisa menghubungi ataupun menemui laki-laki pengecut dan pendusta tersebut. 

Selama merahasiakan apa yang terjadi pada dirinya terhadap teman dan keluarganya, Marta dua kali pindah kosan dan selalu berdusta pada orang tuanya ketika ditanyakan tentang kondisi diri dan kuliahnya. 

Selama menunggu kelahiran jabang bayi yang semakin hari semakin besar, Marta hanya berdiam di kamar kos, dan hampir tidak bergaul dengan masyarakat. Kebutuhan sehari-hari di stok untuk sebulan, atau pesan lewat on line jika dia butuh sesuatu. 

"Suami saya sedang bekerja di Papua bu... " Selalu alasan itu yang dia sampaikan pada pemilik kosan atau bertemu tetangga yang tidak bisa lagi dia hindari. 

Awal-awal kehamilannya, terutama saat Chandra menghindarinya, Marta sering menangis. Dia sering sakit karena kurang tidur dan kurang makan. Tapi ketika memasuki lima bulan, wanita yang menyisihkan diri ini menguatkan hati. Dia tidak ingin lagi berharap. Dia tidak boleh menambah lagi penderitaannya. Harus menghadapi kenyataan yang tentu saja sangat jauh saat awal-awal jatuh dalam perangkap syetan, yang terselubung atas nama cinta. 

"Cukup sekian, dan tunggu saja!" Kalimat ini seringkali keluar dari mulutnya. 

Menghindar bertemu orang, tidak ingin bertemu dan mendustai orang tua, berbohong pada banyak orang, dan merasakan banyak kesakitan, adalah penderitaan yang wanita dua puluh satu tahun ini hadapi berhari-hari. Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Dan perasaan ini dia pelihara baik-baik, agar saat akan dilepaskan menjadi kekuatan baginya. 

Susah payah perempuan yang merasa dirinya sangat bodoh karena dulu dipaksa oleh satu kata jomblo. Berbagai cara dia lakukan agar lepas dari situasi belum punya pasangan dan terakhir dia masuk jaring rayuan gombal murahan milik pribadi murahan dan terbelakang seorang Candra. Anak orang kaya baru, karena orang tuanya menjadi perangkat desa di sebuah desa yang dipisahkan sepuluh desa dari  rumah orang tua Marta. 

Setelah jadian, atau resmi pacaran, hari-hari Marta dan pria itu adalah dari kamar kost ke kamar Candra di rumah baru saja di beli si sekretaris desa di kota, tidak terlalu jauh dari kampus.  Hampir setiap hari seperti itu. Ruang kuliah akan disambangi kapan mereka sudah puas bercumbu. 

Tidak memakan waktu sampai sebulan sejak pacaran, dua makhluk kampung yang baru merasakan suasana kota ini telah meletakkan kehormatan diri dan keluarganya berada jauh di dasar lumpur kotor. 

Pertamakali mereka lakukan di rumah Candra, di kamar mandi kotor dan berlumut, selanjutnya di mana saja saat keinginan iblis tersebut mereka inginkan. Kadang di wc kampus, kadang di semak-semak dalam kebun sawit, sekali-kali di kamar kost Marta, dan lebih sering di rumah Candra. Dan di rumah tersebut tidak pernah memilih tempat. Di mana nafsu tersulut, di situ dilakukan. Di dapur, ruang tamu, kamar, di bawah tali jemuran, bahkan di samping kandang ayam. 

Sangat murahan dan terbelakang sekali moral dua makhluk ini. Mereka bagai mahkluk yang hidup di jaman pra sejarah, atau bagai ayam, atau kucing, atau kambing, atau yang sejenisnya. 

Dan tingkah seperti ini di anggap moderen? Jangan dulu bicara moderen, malah tingkah seperti itu adalah keterbelakangan adab dan zaman. Alasannya? Moderen itu adalah cara hidup, perilaku dan adab yang lebih baik. Dan Tuhan telah menurunkan nabi dan rasul untuk memberikan aturan menuju kebaikan tersebut. 

Pada suatu hari, Marta membaca sebuah status FB salah seorang teman maya nya. Dalam status itu membuat tubuh yang semakin hari semakin subur tersebut sedikit terhenyak 

"Cinta? Apa itu harus menyerahkan diri utuh? Jikalau memang cinta, tentu tidak akan merusak barang yang dicintai."

Sekarang baru dia membenarkan itu. Dulu, berulangkali ada yang mengingatkan hal ini, tapi siapa peduli? Di saat budak pengabdi cinta korban sinetron dan drama Korea, maka akal sehat ke mana lah perginya? Yang ada, kalimat menyakitkan akan keluar membalas ke pemberi nasehat tersebut. 

"Kenapa? Iri ya bos?"  Dan kalimat itu pernah Maria keluarkan pada sahabat sekampung nya ketika mengingatkan, malah Marta tega meninggalkannya dengan pindah kost.

Sekarang, di pondok sawah, saat hampir maghrib, Marta mulai membenahi diri dan memperkuat tekad. Perlahan dan menahan sakit pada selangkangannya, dia melangkah. Dia putuskan akan melaporkan Candra pada pos polisi terdekat. Dengan tuduhan telah mengingkari janji dan telah merusak kehidupannya yang mengakibatkan kerugian yang tak terhingga pada dirinya. 

Sekaligus melaporkan kalau dia baru saja melahirkan dan anaknya dia tinggalkan di bawah pohon pisang belakang kosan. 

Marta mantap melangkah menyusuri pinggiran sawah. Semburat jingga langit senja menyelubungi langkahnya. 

Dari mesjid sekitar terdengar azan maghrib. 

"Allahhu Akbar Allahu Akbar....  " Gemanya menyelinap di dasar hati Marta dan menggedor-gedor jiwa labil masyarakat urban tersebut. 

Moderen itu.... 

*Bagus SLE, penulis sekaligus barista