Pajak Kita, Untuk Kita?

ilustrasi

Oleh: Vidya Putria Rawas

Bengkulutoday.com - Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis jenis pajak antara lain;  Pajak Penghasilan (PPh) yang dipungut melalui mekanisme pemotongan gaji karyawan. Pajak pertambahan nilai (PPN) diambil dari barang konsumsi masyarakat dan dibebankan kepada pembeli. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai untuk pengurusan dokumen penting dan bernilai uang. Belum lagi pajak daerah berupa retribusi pasar, retribusi tempat wisata, PBB pun sekarang mekanisme pemungutannya melalui kelurahan setempat.

Tahun 2019, persentase pendapatan negara, 82,5 % nya berasal dari pajak. Belum lagi utang luar negri yang semakin meningkat jumlahnya. Pemerintah kehabisan cara mencari sumber pemasukan selain pajak dan utang. Pemerintah begitu gencar menarik isi kantong rakyatnya. Pengambilan dana haji, penjualan uang koleksi Rp 75 000, dan kini kebijakan baru melalui undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan. Melalui kebijakan ini, NIK akan diubah menjadi NPWP.  Bisa dipastikan semua masyarakat akan mudah ditarik pajaknya, karena sebelumnya hanya orang tertentu yang mengurus NPWPnya secara mandiri.

Benarkah pajak digunakan untuk pembangunan nasional?

Berdasarkan APBN 2020 dari kementerian keuangan, pos belanja negara yang paling besar adalah belanja kementerian/lembaga yakni Rp 909,6 T dan pembayaran bunga utang Rp 12.173,8 T. Luar biasa, betapa pembayaran bunga utang sudah mengambil porsi 15% dari total belanja negara. Apakah belanja pusat sudah menunjukkan efisiensi anggaran, mengingat tingginya gaji pejabat, namun minim sumbangsih bagi rakyat. Belum lagi korupsi dana bansos yang menyakitkan hati ditengah wabah covid. Pejabat kita miskin empati, disaat rakyat tengah berjuang, dana malah dikorupsi belum lagi penambahan posisi yang tidak penting.

Pembangunan infrastruktur yang menjadi kebanggaan rezim saat ini juga perlu dipertanyakan tingkat kepentingan untuk rakyat atau kepentingan lain. Terdapat total 25 proyek pembangunan infrastruktur senilai Rp 278,35 T dimana sumber dana hanya 30% alokasi dari negara, sisanya ditawarkan kepada swasta. Proyek infrastruktur ini, rinciannya adalah Sistem Penyediaan air minum, pembangunan 2 bendungan, pembangunan rusun Cisaranten Bandung, pembangunan empat jembatan dan sisanya 17 pembangunan jalan tol. Apakah rakyat membutuhkan jalan tol? Hanya ormag berduit saja yang bisa menikmati jalan bebas hambatan ini.

Mirisnya lagi, pemasukan negara dari pajak semakin meningkat tiap tahunnya berbeda dengan pemasukan dari sumber daya alam. Pajak menyumbang 1.865,7 T sedangkan pengelolaan sumber daya alam hanya menyumbang 160,4 T. Angka yang sangat sedikit jika dilihat fakta, negri kita kaya akan kekayaan alam. Untuk membiayai negara, rakyat berada diposisi terdepan melalui pembayaran pajaknya. Setiap rakyat pekerja sektor informal dan swasta harus merelakan gajinya dipotong pajak penghasilan. Sedang ASN mendapat tunjangan pajak, walau dipotong pajak jika bayarnya dari tunjangan ya sama saja mereka tidak bayar pajak. Pajak dipukul rata melalui kenaikan harga barang, ya setiap pembelian sembako pun kini ada PPN nya. Luar biasa.

Berdasarkan undang-undang nomor 17 tahun 2003, selain pajak ada penerimaan negara bukan bukan pajak. Sumber pemasukannya pengelolaan sumber daya alam, laba BUMN dan pelayanan umum. Jangan heran, mengurus surat kelakuan baik, izin usaha, pelayanan umum, sampai menikah pun ada biayanya. Rakyat menjadi sumber pemasukan negara, melalui pajak maupun biaya administrasi lainnya.

Demokrasi biang kerok

Sistem demokrasi menjadikan pemerintah yang dipilih adalah orang-orang yang didukung dan dibiayai  para pemilik modal. Imbasnya mereka akan memudahkan jalan bagi pemodal untuk berbisnis di negeri ini. Jalan yang ditempuh melalui kebijakan pro investor. Seperti pengelolaan kekayaan alam diserahkan kepada swasta yang berorientasi pada keuntungan maksimal.

Kekayaan alam yang awalnya bisa dimaksimalkan untuk sumber pemasukan tidak bisa diharapkan. Sumber daya alam kita sudah diserahkan melalui ke swasta asing (Freeport, Petronas, Newmont, dsb) maupun swasta lokal (perusahaan milik pejabat dan kroninya). Pemerintah mencukupkan diri dengan pajak yang disetor mereka. Padahal jika dikelola sendiri melalui BUMN, maka keuntungan menjadi sumber dana negara. Namun apalah daya, ketika wakil rakyat sudah silau dengan amplop pengesahan undang-undang pesanan. Melalui undang-undang pengelolaan sumber daya alam, investor asing masuk berbondong-bondong mengeruk secara rakus kekayaan laut, bumi, bahkan hutan pun tidak lepas dijarah.

Demokrasi menghasilkan politik balas budi. Posisi strategis di BUMN diberikan kepada pendukumya. Tanpa dilihat kualitas dan kamampuannya. Hasilnya BUMN banyak merugi dan dijual ke asing. Ya, sejak negri ini terjebak utang IMF, negara tidak lagi memberi suntikan dana dan kini semakin hancur karena salah kepemimpinan. Jika begini, apakah labanya bisa diambil untuk kepentingan negara?

Solusi Islam

Negara demokrasi dibiayai oleh pajak dan utang. Lain halnya dengan negara Islam (Khilafah). Salah satu sumber pemasukan negara berasal dari kekayaan umum seperti minyak, gas, listrik, tambang, laut dan sungai, perairan dan mata air,hutan dan padang gembalaan. Karena milik umum, maka tidak diperbolehkan bagi swasta mengelolanya. Negara akan menunjuk perusahaan milik negara dan didukung penuh untuk mengelola dan diperkuat posisinya sebagai satu satunya pihak pengelola kekayaan alam.

Hasil pengelolaan barang pemilikan umum ini, akan diberikan kepada Baitul mal sebagai sumber pemasukan dan dikeluarkan untuk kepentingan negara seperti memperkuat industri militer, membiayai pembangunan sesuai kebutuhan rakyat seperti jalur transportasi didaerah terpencil, pembangunan industri pertanian, fasilitas kesehatan dan pendidikan. Semuanya dikembalikan kepada rakyat tanpa dimintai imbalan biaya fasilitas.

Pajak hanya diambil ketika kondisi kas negara mengalami kekosongan, bersifat insidental dan  ditujukan hanya kepada orang-orang kaya saja tanpa dipaksa. Berbeda sekali dengan Khilafah, sumber dana berasal dari kekayaan alam, dibelanjakan untuk kepentingan negara dan kemakmuran rakyatnya. Wallahu'alam[]