Pemecatan Anggota DPRD karena Selingkuh dan “Merampok Uang Negara”: Sebuah Perspektif Hukum dan Etika Politik

Gambar Ilustrasi

Surakarta – Kasus pemecatan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang ketahuan berselingkuh sekaligus mengaku ikut “merampok uang negara” menuai perhatian publik. Menurut FX. Hastowo Broto Laksito, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta, tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga mengandung unsur pelanggaran hukum dan etika politik yang serius.

Hastowo menilai, sebagai pejabat publik, anggota DPRD terikat sumpah jabatan untuk menjaga martabat dan kehormatan lembaga legislatif. “Ketika perilaku pribadi dan pernyataan politik justru mencoreng lembaga, publik berhak menuntut pertanggungjawaban hukum maupun moral,” ujarnya.

Secara hukum tata negara, DPRD memiliki kode etik yang mengatur perilaku anggotanya. Perselingkuhan, meskipun tergolong urusan pribadi, tetap dianggap melanggar etik jabatan karena menurunkan kehormatan lembaga. Terlebih, pengakuan “merampok uang negara” bisa menjadi indikasi tindak pidana korupsi yang wajib ditindaklanjuti aparat penegak hukum.

“Pernyataan terang-terangan itu tidak bisa hanya dianggap ucapan emosional. Itu bisa menjadi bukti awal dugaan korupsi yang perlu diselidiki KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian,” tegasnya.

Ia menjelaskan, pemecatan anggota DPRD dapat dianggap sah apabila melalui mekanisme etik dan hukum yang berlaku. Partai politik memiliki kewenangan menarik kader yang melanggar integritas, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Namun Hastowo menekankan, tindakan etik saja tidak cukup. Pengakuan “merampok uang negara” harus direspons sebagai informasi awal penyelidikan tindak pidana korupsi. “Jika dibiarkan, hukum hanya berhenti di ranah etik tanpa menyentuh substansi pidana,” tambahnya.

Ia juga menyoroti lemahnya sistem rekrutmen partai politik yang memungkinkan figur bermasalah duduk di kursi legislatif. “Pemecatan memang solusi jangka pendek, tapi perbaikan sistem politik adalah kebutuhan mendesak agar kasus serupa tidak terulang,” katanya.

Kasus ini, lanjut Hastowo, menjadi cermin rapuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Setiap skandal moral atau korupsi anggota dewan, menurutnya, selalu berimbas pada citra buruk institusi secara keseluruhan.

“Pemecatan ini seharusnya bukan akhir, tapi momentum hukum dan politik untuk memperkuat integritas lembaga legislatif serta memberantas praktik korupsi,” pungkasnya.