Penghapusan Hak Pilih HTI dan FPI sesuai Konstitusi

Foto Ilustrasi

Oleh : Muhammad Yasin

Saat ini, DPR akan membahas draf Rancangan Undang-Undang Pemilu yang salah satunya menghapus hak elektoral bagi eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Masyarakat pun mendukung rencana tersebut karena sudah sesuai dengan konstitusi.

Draf Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas undang-undang nomor 7/2017 tentang pemilu dan undang-undang nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu) menghapus hak elektoral untuk memilih maupun dipilih bagi eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Isu ini pun ramai diperdebatkan masyarakat.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menegaskan bahwa apa yang diatur dalam draf RUU Pemilu telah sesuai dengan konstitusi dan sifatnya normatif. Siapa saja yang tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi dasar negara, tidak memiliki hak untuk dipilih sebagai perwakilan legislatif ataupun eksekutif.

Saan menuturkan, dirinya menilai bahwa secara normatif, semua warga negara Indonesia harus patuh dengan konstitusi. Sehingga dia harus mengakui yang namanya ideologi dasar negara yakni Pancasila, tetapi bagi mereka yang tidak mau mengakui Pancasila bahkan ingin mengubahnya, tentu saja hal tersbeut tidak bisa diberikan kesempatan untuk mencalonkan diri baik di eksekutif maupun legislatif.

Saan juga menegaskan, ketentuan ini juga berlaku bagi mantan anggota HTI dan juga FPI. Namun, hal ini-pun bergantung pada peraturan turunannya yakni peraturan komisi pemilihan umum (PKPU). Contohnya PKPU yang mengatur eks narapidana kasus korupsi tidak boleh mencalonkan di legislatif meski UU tidak mengatur.

Sementara itu, draf RUU Pemilu per 26 November 2020, hanya mengatur tentang pelarangan eks HTI sebagai calon anggota legislatif, calon kepala daerah dan juga calon presiden dan wakil presiden. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang HTI dari kepolisian.

Penghapusan hak untuk dipilih bagi eks anggota FPI dan HTI, merupakan bentuk ketegasan negara untuk melindungi negara dari ancaman ideologi transnasional dan ekstremisme yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai yang menjadi prinsip dalam kehidupan berbangsa.

Karyono Wibowo selaku Direktur Indonesia Public Institut (IPI) menilai, penghapusan hak elektoral terhadap eks HTI dan FPI dalam RUU Pemilu tersebut dilandasi oleh keputusan hukum. Dua organisasi kemasyarakatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan undang-undang. Ormas HTI secara sah dibubarkan oleh negara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah inkrah.

 Sementara larangan penggunaan simbol-simbol dan atribut FPI dinyatakan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Instansi lembaga negara.

Karyono berpendapat, ormas HTI dibubarkan oleh pengadilan karena dinilai tidak menjalankan azas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam undang-undang keormasan, yaitu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

HTI dianggap terbukti mendakwahkan doktrin negara berbasis kekhilafahan kepada para pengikutnya. Sementara dalam AD/ART FPI juga tidak mencantumkan Pancasila sebagai azas organisasi. Meskipun FPI selalu mengklaim sebagai ormas Pancasilais.

Namun tindakan dan perbuatannya dinilai tidak mencerminkan nilai-nilai pancasila sebagai mana sifat ormas yang diatur dalam UU 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU 17 Tahun 2013 tentang Organisasi kemasyarakatan menjadi UU. Belum lagi dengan adanya dugaan akan adanya keterlibatan sejumlah anggota FPI yang mendukung terorisme.

Dengan demikian, RUU tentang perubahanatas Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu) yang menghapus hak untuk dipilih bagi anggota HTI dan FPI bukan berarti diskriminasi, tetapi justru menunjukkan konsistensi negara dalam menjalankan perintah konstitusi.

Jika partai terlarang seperti PKI dan seluruh underbow-nya dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan kehilangan hak politik untuk dipilih, maka negara juga harus berlaku adil.

Rekam jejak FPI juga masih sulit dilupakan. Masyarakat pun sudah banyak yang mengetahuinya, bahwa Ormas FPI telah dengan gamblang meresahkan masyarakat, tak terhitung sudah bukti tindakan intoleran FPI.

FPI telah mencatatkan sejarah sebagai ormas yang sering melakukan kerusuhan. Seperti pada aksi damai yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), FPI melancarkan aksinya dengan memukul para peserta aksi dengan bambu, tak sedikit peserta aksi yang berdarah, bahkan tak hanya kaum pria yang menjadi korban, para ibu – ibu yang membawa anaknya pun tak luput dari korban pemukulan.

Pencabutan hak elektoral bagi kelompok yang menolak Pancasila, tentu saja hal tersebut tidaklah berlebihan, karena secara konkrit seseorang yang tidak berpegang teguh pada pancasila merupakan orang yang tidak menyukai adanya demokrasi.

(Penulis adalah warganet tinggal di Tangerang)