Perang Baliho, Menyingkap Kedok Politisi dalam Demokrasi

Ilustrasi

Oleh: Rosyati Mansur Mahasiswi UNIB

Bengkulutoday.com - Pesta Demokrasi (pemilihan presiden) masih terlalu jauh dari jangkauan, dimana ajang Pilpres tersebut masih terhitung tiga tahun lagi. Namun diluar dugaan, para petinggi partai politik ternyata sudah mulai sibuk melakukan kampanye dengan memasang baliho foto. Pemasangan baliho tersebut tidak hanya ditemukan di kota – kota besar saja, tetapi di desa pun sudah mulai nampak wajah para petinggi partai politik. Mulai dari Menteri, pimpinan DPR RI, hingga pejabat daerah.

Dilansir dari Suarasurakarta.id (09/08/2021) pengamat UNS Agus Riewanto mengatakan bahwa pemasangan baliho tersebut merupakan salah satu langkah awal memperkenalkan diri kepada masyarakat, sekaligus sebagai penguatan publik agar ingatan publik semakin panjang terhadap politisi ini. Menurut salah pengamat politik Firman, perang baliho antar politik yang terjadi saat ini justru akan menciptakan kejenuhan bagi masyarakat. Sehingga menurutnya pesan yang tersirat di baliho tidak sampai kepada masyarakat tetapi malah sebaliknya.

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Airlangga (UNAIR), Irfan Wahyudi menilai bertebarannya papan reklame berisikan politikus yang berkampanye, telah mencenderai persaan masyarakat yang sedang berjuang melawan pandemi Covid-19. Irfan menyebutkan ada dua cara penyampaian pesan yang digunakan para politisi dalam pemsangan iklan pada baliho, yaitu dengan promosi secara terangan-terangan dan promosi melalui jargon. Dirinya menilai cara tersebut sama-sama sebagai tindakan yang tidak berempati karena sekarang masyarakat masih dalam kondisi pandemi (Republika.id 15/8/2021).

Sangat disanyangkan memang, ditengah kondisi masyarakat yang sedang dilanda pandemi para politisi ternyata justru bertarung untuk mendapatkan kursi RI, padahal menuju tahun 2024 itu merupakan waktu yang sangat lama. Jadi momen pemasangan baliho dikondisi sekarang sangatlah tidak relevan. Ditambah lagi, pemasangan baliho ini bukanlah sesuatu yang murah karena harus membayar biaya pembuatan dan juga biaya pemasangan. Andai biaya yang dikeluarkan tersebut dialokasikan untuk masyarakat yang mayoritas terdampak pandemi, maka itu jauh lebih baik. Masyarakat  tidak butuh permainan retorika kata yang hero, namun actionnya zero. Pesan yang disampaikann melalui baliho bukan nya diterima, malah justru menuai pertanyaan dan amarah dari masyarakat. Dengan asumsi justru muncul kesan heroik pada masyarakat, bukannya medapatkan simpati tapi justru sebaliknya.

Ditambah lagi para politisi yang memasang baliho ternyata parpol yang menjadi koalisi pemerintah saat ini. Akibatnya masyarakat sudah mulai hilang kepercayaan pada pemerintah dalam menangani pandemi. Bukannya peka dengan kondisi masyarakat yang bertarung melawan pandemi, tapi justru mereka malah bartarung untuk mendapatkan kursi jabatan, dan menghabiskan biaya yang besar hanya untuk popularitas semata. Pemerintah yang bertugas malayani rakyat justru minta dilayani. Sehingga yang didapatkan masyaraktnya hanya penderitaan saja, jauh dari kata sejahtera.

Pada hakikatnya Penguasa merupakan pelayan bagi rakyat, bertanggung jawab besar terhadap urusan rakyatnya. Penguasa harus benar – benar memperhatikan segala urusan rakyatnya, tidak boleh sedikitpun melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyatnya.  Sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:

Siapa pun yang mengeplai salah satu urusan kaum muslim dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Maja, Al-Hakim).

Harusnya sabda Rasulullah Saw tersebut menjadi pengingat bagi para penguasa dalam menjalankan kepemimpinannya. Namun pemimpin (penguasa) yang seperti itu tidak akan dijumpai dalam system demokrasi ini, dalam perjalanannya demokrasi tidak mampu melahirkan kesejateraan dan kemulian hidup bagi umat manusia. Demokrasi lahir dengan asas Sekulerisme – Kapitalisme, pemisahan agama dari kehidupan. Jadi sangat gampang bagi kepemimpinan dalam Demokrasi mengabaikan apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya. Yang menjadi titik fokusnya bukan pada rakyat, melainkan pada kepentingan para korporasi. Keadaan yang dirasakan saat ini semestinya menjadi cambuk bagi rakyat untuk sadar akan kebobrokan sistem Kapitalis – Demokrasi. Sebuah keniscayaan didalam sistem ini yang terlahir adalah para politisi pengabdi kursi, bukan mengabdi kepada rakyat.

Begitulah sejatinya yang terjadi, sampai kapanpun selagi Islam belum diterapkan , maka selama itulah umat tidak akan pernah merasakan hidup dalam kesejateraan. Hanya Islam satu-satunya yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi semesta alam. Dibawah naungaannya sebuah kemuliaan dan kesejateraan yang hakiki akan kita rasakan.