Rejang Lebong - RV, remaja dibawah umur warga Kabupaten Rejang Lebong korban pengeroyokan yang terjadi pada 21 September 2024 lalu, mengalami lumpuh. Korban kini hanya bisa terbaring lemah dirumahnya.
Untuk biaya pengobatan, pihak keluarga yang terbilang bukan keluarga kaya mengalami kesulitan. Bahkan, pihak keluarga harus rela menggadaikan rumah miliknya.
Adapun, terduga pelaku pengeroyokan yang berjumlah 4 orang merupakan anak dibawah umur telah diproses hukum oleh penyidik Satreskrim Polres Rejang Lebong, namun tidak dilakukan penahanan.
Berkas perkara keempatnya juga telah bergulir ke Jaksa, namun belum P21 alias P19.
"Berdasarkan petunjuk Jaksa, kita diminta melakukan rekonstruksi untuk mengetahui peran masing-masing terduga pelaku," kata Kapolres Rejang Lebong AKBP Eko Budiman, Rabu (12/2/2025).
Kapolres juga membantah isu yang berkembang bahwa perkara tersebut dihentikan dan atau tidak berjalan tahapannya.
Berdasarkan keterangan Kapolres, pihak Badan Musyawarah Adat (BMA) Rejang Lebong, dan juga dinas terkait saat merilis perkembangan perkara tersebut di Mapolres Rejang Lebong pada Rabu (12/2/2025), terhadap perkara tersebut didorong diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana).
Secara prosedur, tahapan menuju diversi telah dilakukan dengan melibatkan pihak yang berkompeten, namun diakui hasilnya belum maksimal sesuai tuntutan pihak keluarga korban.
Sementara menunggu proses diversi, keempat terduga pelaku yang tidak ditahan membuat pihak keluarga korban kecewa dan merasa tidak diberlakukan adil.
“Saya hanya ingin keadilan. Saya ingin anak saya sembuh. Tolong pakai hati nurani," ujar orang tua korban.
Kuasa hukum korban, Anatasia Pase, S.H., kepada wartawan saat hadir di Mapolres Rejang Lebong mengatakan, pihak korban membuka diri untuk damai, tetapi keadilan bagi korban harus terpenuhi.
“Kami terbuka untuk berdamai, tapi hak korban harus diperhatikan. Pengobatannya masih butuh biaya besar, dan jika tidak sembuh, maka masa depannya terancam selamanya,” ujarnya tegas.
Ana mengaku kecewa dengan tekanan dari berbagai pihak yang seakan memaksa pihak korban untuk berdamai, sementara hak dan masa depan korban diabaikan. Banyak yang menyoroti hak para pelaku karena masih di bawah umur, tetapi seolah melupakan bahwa korban juga anak di bawah umur yang kini hidup dalam penderitaan tanpa kepastian.
“Kami tidak menutup pintu damai, tapi siapa yang bertanggung jawab atas kesembuhan dan masa depan korban," ucap Ana.
Ana meminta ketegasan dari aparat penegak hukum (APH) agar tidak berlarut-larut dalam menangani kasus ini, sejauh ini dia tidak melihat kemajuan yang signifikan. Menurutnya, ada ketimpangan dalam penerapan hukum.
“Baru-baru ini, seorang anak berusia 17 tahun mencuri tabung gas dan langsung diproses hukum dengan pasal pencurian dengan pemberatan (Curat), tanpa ada diversi. Mengapa dalam kasus ini, yang menyangkut kekerasan terhadap anak hingga menyebabkan kelumpuhan, diversi begitu diutamakan?,” cetusnya.
Kapolres Rejang Lebong Polda Bengkulu AKBP Eko Budiman, S.I.K., M.I.K., M.Si., mengakui memang proses hukum berjalan lamban. Hal ini disebabkan oleh upaya diversi yang belum mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Ia menegaskan bahwa kasus ini melibatkan anak di bawah umur, baik korban maupun pelaku, sehingga pihaknya berhati-hati dalam mengambil langkah hukum.
“Kami tidak diam. Semua proses telah dijalankan sesuai prosedur. Laporan Polisi diterima pada 21 September 2024, Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) diterbitkan pada 23 September, dan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dikirim pada 26 September,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, gelar perkara dilakukan pada 28 Oktober 2024 dengan menetapkan empat orang sebagai pelaku. Namun, karena mereka juga masih di bawah umur, penyelesaian melalui diversi diutamakan. Upaya ini telah berlangsung sejak 22 November hingga 4 Desember, tetapi menemui jalan buntu lantaran keluarga pelaku tidak sanggup menanggung seluruh biaya pengobatan korban. Kegagalan diversi memaksa pihak kepolisian mengirimkan berkas perkara ke Kejaksaan pada 5 Desember, namun berkas tersebut dikembalikan pada 16 Desember karena masih ada kekurangan.
“Pada 4 Februari, kami kembali menyerahkan berkas ke jaksa dan terus berkoordinasi hingga 10 Februari,” tambahnya.
Adapun, berdasarkan keterangan pihak perangkat desa tempat tinggal korban dan pihak BMA, biaya pengobatan korban memang sangat mahal. Bahkan dalam proses diversi, disebutkan angkanya mencapai Rp 107 juta. Tuntutan biaya pengobatan yang cukup besar tersebut menjadi titik masalah karena pihak keluarga keempat terduga pelaku tidak memenuhi seluruhnya. Biaya pengobatan itupun belum terhitung dampak kerugian lainnya dari korban karena penderitaan dan masa depannya yang terancam.
Disisi lain, perkara tersebut juga mendapat perhatian dari Kapolda Bengkulu Irjen Pol Anwar, S.I.K., M.Si., melalui Kabid Humas Polda Bengkulu Kombes Pol Andy Pramudya Wardana, S.I.K., M.M., yang turut hadir saat rilis di Mapolres Rejang Lebong.
Dalam pertemuan bersama kuasa hukum korban, BMA, dinas terkait, dan perangkat desa, serta Kapolres Rejang Lebong dan penyidik yang berlangsung di ruang kerja Kapolres, Kabid Humas Polda Bengkulu hadir melakukan monitoring.