Putusan MK Dinilai Berlebihan, Golkar Usulkan Sidang Istimewa MPR Kembalikan UUD Asli

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Golkar, Nurdin Halid.

Bengkulutoday.com - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Golkar, Nurdin Halid, melontarkan kritik tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Ia menilai MK telah melampaui batas kewenangannya dan menjelma sebagai pembentuk norma baru, sejajar dengan DPR dan pemerintah.

“MK sudah terlampau jauh memasuki ranah pembentuk undang-undang sehingga sejumlah putusan MK menjadi polemik konstitusional. MK memasuki ranah yang bukan menjadi kewenangan MK,” tegas Nurdin dikutip dari https://turkeconom.com/category/politik/  .

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kewenangan MK sebagaimana diatur dalam UUD 1945 hanya sebatas menguji undang-undang terhadap konstitusi, menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara, membubarkan partai politik, serta menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.

Menurut Nurdin, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) juncto ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun, termasuk untuk memilih anggota DPRD.

“Keputusan MK ini tidak hanya cacat secara konstitusional, tetapi menimbulkan ketidakpastian terhadap demokrasi, sistem tata negara, perencanaan pembangunan, sistem pemerintahan daerah, tata kelola pemilu, keuangan negara serta membingungkan publik dan masyarakat,” jelas Nurdin.

Ia juga mengkritisi bahwa dengan putusan tersebut, MK secara tidak langsung telah mengubah konstruksi konstitusi dan mengabaikan substansi serta filosofi Pasal 18 UUD 1945. Ia menilai, menjadikan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu membuka celah perluasan kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa pilkada.

“Keputusan ini jelas membuat kegaduhan konstitusional yang pelik. Implikasi lain dari keputusan ini secara konstitusional juga sangat kompleks,” ujarnya.

Nurdin menyoroti pula persoalan teknis yang ditimbulkan dari putusan tersebut, termasuk harmonisasi dengan UU Pemda, khususnya Pasal 39 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah menjabat selama lima tahun sejak pelantikan. Ia menambahkan, belum ada kejelasan terkait masa kekosongan keanggotaan DPRD di daerah apabila pemilu dipisah.

Meski demikian, Nurdin tetap menghormati putusan MK. Namun, ia menekankan bahwa seharusnya MK hanya membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, bukan menciptakan norma baru.

“Masalahnya, putusan MK bersifat final and binding. Pertanyaannya, siapa yang menjamin bahwa putusan MK hari ini yang bersifat final and binding tidak dibatalkan oleh hakim-hakim MK periode berikutnya. Jika demikian, berarti MK telah menjelma menjadi lembaga yudikatif sekaligus legislatif,” ujar Nurdin.

Ia bahkan menyinggung kewenangan MK yang dinilai membingungkan karena dapat membatalkan putusan Mahkamah Agung.

Sebagai solusi, Nurdin mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menggelar Sidang Istimewa guna mengembalikan UUD 1945 ke bentuk aslinya. Ia juga menyarankan agar MPR membuat TAP MPR yang memuat tafsir resmi terhadap pasal-pasal konstitusi.

“Saya mendorong MPR melakukan Amandemen kembali ke UUD 1945 yang asli dan utuh. Selain itu, Sidang MPR juga membuat Tap MPR untuk menafsir secara resmi Pasal-Pasal UUD 1945 mengingat Bagian Penjelasan dalam UUD 1945 yang asli sudah dihapus. Jadi, baik DPR dan DPD maupun lembaga tinggi negara yang lain harus mengacu pada penafsiran resmi yang tertuang dalam TAP MPR,” tuturnya.

Sementara itu, dari pihak eksekutif, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa pemerintah masih mengkaji dampak dan legalitas putusan MK tersebut. Tito mengungkapkan, akan diadakan rapat antar kementerian untuk merumuskan langkah selanjutnya.

“Kita masih mengkaji, kita mengkaji, nanti akan kami rapatkan antar pemerintah dulu. Dengan Kementerian Setneg ya, kemudian Kementerian Hukum, mungkin dengan Menko Polkam,” jelas Tito kepada awak media di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Tito menegaskan bahwa analisis menyeluruh sedang dilakukan, termasuk meninjau kesesuaian putusan MK dengan konstitusi serta potensi dampaknya terhadap sistem politik dan hukum pemilu di Indonesia.

“Ini menyangkut masalah politik dan aturan kepemiluan, aturan kepilkadaan. Kita tentu membahas nanti tentang apa namanya itu putusan itu sendiri. Apakah sesuai dengan aturan-aturan yang ada, termasuk konstitusi dan analisis dampak positif-negatifnya,” imbuh Tito.

Putusan MK ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari partai politik dan pengamat hukum tata negara. Sebagian besar menilai langkah MK berpotensi melemahkan demokrasi dan menabrak prinsip pemisahan kekuasaan.

Dengan polemik yang terus bergulir, publik kini menanti kejelasan arah kebijakan pemerintah dan lembaga legislatif dalam merespons putusan kontroversial tersebut.