Redistribusi Kesejahteraan Bagi Petani dan Usaha Mikro Kecil

ilustrasi

Oleh: Sriwiyana Teguh Ananto BPS Kota Bengkulu

Bengkulutoday.com - Dalam teori pembangunan modern, pembangunan tak bisa lagi dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi yang menitikberatkan pada peningkatan produksi semata. Pembangunan harus dimaknai sebagai peningkatan harkat, martabat dan kesejahteraan manusia. Karena itulah, keberhasilan  pembangunan kemudian diukur dalam berbagai indikator yang kompleks dan komposit, yang menyangkut bukan saja indikator ekonomi, namun juga keadilan (justice), ketertiban (order), kebebasan (freedom),  serta  kemakmuran dan kesejahteraan bersama (common prosperity and welfare).  Indikator pembangunan yang lebih kompleks diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih komprehensif apakah tujuan pembangunan nasional telah tercapai.

 Tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional telah membawa banyak perubahan.  Perekonomian hampir selalu tumbuh positif. Selain itu, kemiskinan juga berhasil ditekan. Semenjak pembangunan nasional efektif dilaksanakan, penduduk miskin yang di awal 1970-an mencapai 60 persen dari total penduduk Indonesia, berhasil ditekan menjadi 10,14 persen pada tahun 2021. Pendapatan perkapita naik dari 70 dolar pada tahun 1970, menjadi 5.000 dolar pada tahun 2021.

Ini menunjukkan bahwa banyak kemajuan dalam pembangunan dalam enam dasawarsa terakhir.  Namun demikian hal ini tidak menyurutkan berbagai kritik terhadap isu-isu kesenjangan dan redistribusi kesejahteraan.  Angka gini ratio tahun 2021 yang dirilis BPS sebesar 0,38 ternyata tidak lebih rendah dari angka gini ratio tahun 1976 yang tercatat 0,35. Artinya persoalan ketimpangan sejak masa Orde Baru hingga kini masih menjadi isu mendasar. 

Beberapa fenomena yang masih terlihat dalam persoalan distribusi kesejahteraan diantaranya adalah masih tingginya angka kemiskinan rumahtangga pertanian. Sebagai sektor yang memiliki konstribusi cukup tinggi dalam struktur ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian dinilai   belum mampu mengangkat tingkat kesejahteraan petani.  Data BPS menyebutkan, pada tahun 2020  jumlah rumahtangga miskin di Indonesia, 46,30 persennya berasal dari sektor pertanian. Meskipun ada kecenderungan peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) akibat naiknya harga produsen khususnya perkebunan, namun pada satu sisi upah buruh tani relatif stagnan. Upah riil buruh tani sepanjang tahun 2020-2021 hanya bergerak pada kisaran Rp52.360 – Rp52.338.

 Demikian juga kalau kita lihat dari struktur skala usaha.  Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2020,  terdapat 64 juta pelaku usaha, dimana 98,6 persen merupakan usaha mikro, 1,3 persen merupakan usaha kecil, 0,09 persen usaha menengah dan 0,01 persen usaha besar. Usaha mikro dan kecil, yang dalam setiap krisis ekonomi selalu diharapkan sebagai penyelamat, menempati dasar piramida, dan selalu berjuang untuk bertahan. Untuk membantu pengembangan UMKM ini, pemerintah telah mengucurkan berbagai skema kredit UMKM. Mengutip   Data Statistik Perbankan Indonesia OJK,  mencatat kredit UMKM terus mengalami penurunan sejak Maret 2020 hingga Juli 2020. Penyaluran kredit UMKM mulai tumbuh per Agustus 2020 sebesar Rp 1.015,93 triliun, dari posisi Juli 2020 sebesar Rp 1.013,75 triliun.

Beberapa kondisi di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian dan skala usaha mikro kecil yang menjadi tumpuan perekonomian nasional, pelakunya belum memperoleh kesejahteraan yang memadai. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya nilai tawar petani dan pelaku usaha mikro kecil dalam penentuan harga, pangsa pasar yang terbatas, dan persaingan usaha yang dibiarkan berlangsung bebas antara pengusaha mikro kecil dengan pengusaha menengah besar.  

Tentu kondisi ini tidak adil bagi petani dan pengusaha mikro kecil.  Karena itu diperlukan kebijakan yang bersifat melindungi petani dan pengusaha mikro kecil dari gempuran pengusaha menengah dan besar, diantaranya adalah dengan membangun jaringan lembaga pemasaran produk pertanian dan usaha kecil mikro untuk memperluas pangsa pasar dan standarisasi produk, membatasi penetrasi usaha menengah besar minimal hanya sampai ibukota kabupaten untuk mencegah persaingan usaha yang tidak berimbang, serta pendampingan manajemen dan digitalisasi usaha sehingga mampu mengikuti perubahan pola konsumen. Dengan demikian, diharapkan dapat terjadi redistribusi kesejahteraan bagi petani dan pelaku usaha mikro kecil.