Resesi Ekonomi 2023 Perlukah Ditakutkan ?

Risvan Ardiansyah

Penulis : Risvan Ardiansyah, Kepala Seksi Supervisi Teknis Aplikasi Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bengkulu

BENGKULU - Saat ini banyak informasi yang kita dengar bahwa akan terjadinya resesi ekonomi pada tahun 2023 mendatang. Hal ini mengingatkan bagi sebagian pembaca yang pernah mengalami resesi ekonomi pada tahun 1998 lalu. Presiden Joko Widodo menyampaikan ancaman dan situasi dunia yang sulit karena ketidakpastian global dan masih terjadinya perang Rusia-Ukraina. Bank Dunia dan IMF memperkirakan perekonomian di 60 negara berpotensi mengalami kejatuhan ekonomi pada tahun 2023 mendatang di mana normalisasi moneter AS berpotensi menekan pasar keuangan tidak terkecuali di Asia Tenggara.

Saat terjadi resesi, roda ekonomi akan melambat alias lesu. Dampaknya paling dirasakan oleh sektor finansial mulai dari bisnis yang tidak berkembang, pemotongan gaji, hingga angka pengangguran yang bertambah. 

Tidak hanya resesi ekonomi, pandemi penyakit seperti Covid-19 pada 2 tahun belakangan kemarin juga menghantam perekonomian di berbagai sektor, mulai dari skala besar hingga UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) berjatuhan. Bahkan dampak pandemi terhadap UMKM diyakini lebih besar karena tingginya tingkat kerentanan dan minimnya ketahanan akibat keterbatasan likuiditas, supplier, dan opsi dalam merombak model bisnis. 
Pandemi ini menghancurkan sisi terpenting ekonomi yaitu supply (penawaran) dan juga demand (permintaan).
Dari sisi supply, banyak UMKM mengalami pengurangan aktivitas dikarenakan adanya kebijakan pembatasan interaksi sosial yang berujung pada terhentinya proses produksi. Dari sisi demand, berkurangnya permintaan atas barang dan jasa mengakibatkan banyak UMKM yang tidak dapat memaksimalkan keuntungan, sehingga menyebabkan berkurangnya likuiditas perusahaan.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, sebanyak 98% usaha pada level mikro atau sekitar 63 juta terkena dampak pandemi Covid-19.  Kita semua tahu sejauh ini UMKM mampu menyerap banyak tenaga kerja. Dengan serapan tenaga kerja yang besar itu, maka bila sektor UMKM terganggu, akan berdampak pada banyaknya masyarakat kehilangan pendapatan. Sekarang saja sudah banyak pengusaha yang tidak tidak dapat membayar upah pekerjanya secara penuh. Bahkan banyak juga yang melakukan pemutusan hubungan kerja. Namun demikian, justru sektor UMKM-lah yang mampu bertahan dan bangkit lebih cepat.
Kita mundur ke belakang saat krisis ekonomi 1998, Indonesia mengalami inflasi sebesar 88%, pertumbuhan ekonomi minus 13% dan cadangan devisa terkuras hingga lebih dari USD 17 Miliar. Namun demikian, UMKM berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional, karena di tengah banyaknya industri berjatuhan, UMKM tetap berjalan dan tidak terlalu terdampak krisis ekonomi sejalan dengan tingginya kurs dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah pada saat itu. 

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pembukaan lapangan pekerjaan oleh pengusaha kecil pada tahun 1998 mencapai 64,31 juta jiwa. Angka ini  sedikit turun 1,96% dibandingkan dengan tahun 1997 yang mencapai 65,6 juta jiwa. Karena UKM jugalah, setahun setelah krisis, tenaga kerja yang terserap kembali meningkat 4,4 persen menjadi 67,16 juta jiwa.  Kejadian terulang lagi di tahun 2008. Pada tahun tersebut Indonesia mengalami krisis keuangan global yang dipicu oleh subprime mortgage yang terjadi awal kali di Amerika Serikat. Faktanya, UMKM turut bantu mengangkat Indonesia dari resesi ekonomi di tengah masyarakat. Sebab, berdasarkan data BPS, jumlah penyerapan tenaga kerja pada tahun tersebut meningkat 3,9% menjadi 90,49 juta jiwa dibandingkan pada tahun 2007.
Hingga saat ini, masyarakat sedang bangkit memulihkan kondisi perekonomian yang terpuruk di berbagai sektor akibat pandemi Corona atau Covid-19. 

Namun pada awal September 2022 kemarin, Pemerintah menaikkan harga BBM subsidi yang membuat daya beli masyarakat menurun. Hal ini tentunya menjadi ancaman bagi masyarakat dalam menghadapi resesi ekonomi pada tahun 2023 mendatang. Namun demikian Pemerintah tidak tinggal diam dan terus berupaya untuk mengantisipasi resesi ekonomi dan dampak kenaikan BBM dengan terus menyalurkan bantuan kepada masyarakat khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Pada tahun 2022 Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengalokasikan pagu Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) di Provinsi Bengkulu sebesar Rp 9,78 Triliun dan hingga 30 September 2022 telah disalurkan TKDD sebesar Rp 7,3 Triliun atau total sebesar 75%.

Hingga 30 September 2022, Penyaluran Kredit Ultra Mikro (UMi) di Provinsi Bengkulu telah disalurkan kepada 9.652 Debitur sebesar total Rp46,79 miliar.
Penyaluran KUR (Kredit Usaha Rakyat) di Provinsi Bengkulu hingga 30 September 2022 mencapai 3,3 Triliun Rupiah dengan sektor pertanian sebesar 1,84 Triliun Rupiah, sektor perdagangan sebesar 1,07 Triliun Rupiah dan sektor lainnya sebesar 410 Miliar Rupiah.

Bantalan sosial dari APBN juga sudah dikucurkan oleh Pemerintah melalui berbagai instrument. Instrumen sosial yang didukung dari APBN antara lain Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sebesar 150 ribu Rupiah per KPM selama 4 bulan yang dibayarkan sekaligus per 2 bulan. Selain itu BSU untuk masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta sebesar Rp 600 ribu per pekerja. Kebijakan kenaikan harga BBM pada awal September 2022 memicu kenaikan inflasi tidak terkecuali di Kota Bengkulu. Badan Pusat Statistika (BPS) Provinsi Bengkulu mengumumkan inflasi di Kota Bengkulu pada periode Oktober 2022 sebesar 1,22%.  Pemberian BLT dan penyaluran dana bantuan lainnya dari Pemerintah diharapkan agar daya beli masyarakat terjaga terutama pada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah sehingga diharapkan pada tahun 2023 mendatang kemiskinan dan dampak dari resesi ekonomi dapat ditekan sekecil mungkin.

Namun analisa dan ramalan tetap bisa salah. Kita boleh sedikit khawatir, tapi jangan sampai membuat semangat mengendur. Justru kita harus lebih cerdas dan kuat menghadapi situasi ini. Karena sesulit apa pun keadaannya, yakinilah bahwa peluang tetap selalu ada. Kata pepatah, tidak ada nakhoda yang lahir dari lautan yang tenang. Begitu pun dalam dunia usaha. Makin banyak tantangannya, makin kuatlah usahawan. Lalu bagaimana cara mengelola keuangan pribadi agar tidak terdampak resesi? Beberapa hal ini bisa dicoba. Pertama, berhemat. Tips ini mungkin terkesan klise dan bisa jadi sudah dipraktekkan setiap hari. Namun bagi anda yang masih terbiasa hidup boros alangkah baiknya kebiasaan hidup hemat mulai dilakukan. Tujuannya adalah agar bisa memiliki uang lebih untuk dialokasikan ke hal-hal yang lebih penting seperti dana darurat, melunasi atau mengurangi hutang dan berinvestasi.

Kedua, atur ulang pos pengeluaran. Agar lebih terjaga uangnya dari keborosan, alangkah baiknya mengatur ulang anggaran. Mulai memisahkan pos yang merupakan kebutuhan pokok dan mana yang merupakan pos yang merupakan keinginan. Mungkin bisa mulai mengurangi pos leisure seperti nongkrong di kafe, nonton bioskop atau traveling. Bisa dikurangi bukan dihilangkan, bisa dikurangi biayanya atau intensitasnya. Dalam menentukan ulang pos anggaran pengeluaran, bisa dilakukan juga cek kesehatan keuangan sederhana. Contohnya cek rasio tabungan, utang terhadap pengeluaran, dan rasio likuiditas.

Ketiga, mengurangi atau melunasi hutang. Berhutang bagi sebagian orang sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, entah menjadi kebutuhan atau ketagihan. Jika kemudian gaya hidup lebih hemat dan atur ulang pengeluaran sudah dilakukan, saatnya mengurangi utang. Buat utang seminim mungkin untuk berjaga-jaga misalnya terjadi resesi. Proporsi utang terhadap pengeluaran bulanan yang sehat sekitar di bawah 30%. Namun karena mau menghadapi resesi, lebih konservatif juga lebih baik. Misalnya rasio utang terhadap pengeluaran sampai 20%.

Pastikan dalam membayar utang mulai dari yang berbunga besar. Karena bunga yang tinggi bisa berpengaruh pada arus kas keluarga saat mengalami masalah keuangan. Keempat, siapkan dana darurat. Dana darurat yang ideal adalah untuk 3-6 bulan dalam memenuhi kebutuhan. Mumpung belum sampai resesi, masih ada waktu untuk segera mengumpulkannya. Saat terjadi resesi dan jika terkena pengurangan gaji atau bahkan PHK, dana darurat ini yang nantinya bisa menggantikan pendapatan yang hilang.

Kelima, cari tambahan penghasilan. Bagi kita yang memiliki hobi atau keluangan waktu, kita bisa menjadikan hobi anda sebagai peluang mendapatkan tambahan penghasilan. Selain itu, kita juga bisa meluangkan waktu untuk mencari tambahan penghasilan untuk menambah aliran kas masuk.