Sangketa Pulau Ligitan dan Sipadan

pulau Ligitan Dan Sipadan

Oleh: Elsa Chairunnisa

Bengkulutoday.com - Pulau sipadan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik (Indonesia). Sedangkan pulau ligitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut (seikitar 34 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 57,6 mil laut (sekitar 93 km) dari pantai pulau sebatik. Permicu sengketa wilayah ini terjadi pada tahun 1969 sewaktu kedua negara mengadakan perundingan untuk menetapkan batas landas kontinen.

Pada saat itu terjadi perdebatan sehubungan dengan kepemikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Untuk selanjutnya sengketa ini dicoba untuk diselesaikan ditingkat pernerintahan kedua negara selarna bertahun-tahun. Namun upaya ini gagal. Pada tahun 1997 kedua pernerintahan akhirnya sepakat untuk rnenyerahkan penentuan kedua wilayah kepada Mahkamah Internasional. Yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Kedua negara kemudian menyampaikan notifikasi bersama kepada Mahkamah Internasional tertanggal 2 November 1998 yang meminta Mahkamah Internasional untuk memutus kedaulatan atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis, dan bukti-bukti dokomen yang diberikan oleh indonesia dan malaysia ke pengadilan.

Special agreement juga mencantumkan tentang kesediaan kedua negara untuk menerima hasil keputusan dewan juri dengan lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat akhir dan mengikat (final and binding). Pengacara dari pihak Indonesia Pengacara dari pihak Malaysia Alain Pellet seorang guru besar dari Universitas Parix X-Nanterres Elihu tauterpacht seorang guru besar hukurn intemasional dari Universitas Cambridge Alfred H.A. Soons seorang guru besar hukum intemasional publik dari Universitas Utrecht Jean-Pierre Cot seorang guru besar emiritus dari Universitas Paris Arthur Watts seorang pengacara dari Inggris James Crawford seorang guru besar hukum intemasional dari Universitas Cambridge Rodman R. Bundy seorang pengacara Perancis Nico Schrijver seoarang guru besar hukum interenasional dari Universitas Vrije.

Loretta Malintoppi yang juga seorang pengacara dari Perancis. Proses persidangan yang dilakukan dihadapan MI oleh Indonesia dan Malaysia terbagi menjadi dua bagian utarna, yaitu sesi Argumentasi Tertulis (Written Pleadings) dan Argurnentasi Lisan {Oral Pleadings). Sumber Hukum Indonesia Indonesia mengajukan tiga argumentasi. Dua argumentasi disampaikan secara tertulis, dan satu argumentasi alternatif diajukan ketika oral pleadings.

Sumber Hukum Malaysia Malaysia mengajukan dua pokok klaim dalam persidangan Pertama, bahwa kedaulatan Indonesia atas kedua pulau tersebut diperoleh berdasarkan Konvensi 20 Juni 1891 antara Inggris dan Belanda. Konvensi 1891 ini mengatur penetapan batas di Pulau Kalimantan antara Belanda dan negara-negara di Pulau Kalimantan yang berada di bawah protektorat Inggris Raya. Indonesia berargumentasi bahwa ketentuan dalam Konvensi 1891 yang menyatakan garis 4˚10’ LU yang membagi Pulau Sebatik tidak berhenti di ujung Pulau Sebatik, melainkan harus diteruskan ke arah Timur sebagai suatu allocation line yang membuat pulau-pulau di sisi utara garis menjadi milik Inggris dan pulau-pulau di sisi selatan garis menjadi milik Belanda.

Dengan demikian, Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang Pertama, Malaysia berpendapat bahwa kedaulatan diperoleh berdasarkan original title oleh Sultan Sulu yang kemudian secara berkelanjutan diteruskan kepada Spanyol, Amerika Serikta, Inggris (Negara Borneo Utara), Inggris Raya, hingga akhirnya ke Malaysia. berada di sisi selatan garis menjadi milik Belanda. Kedua, Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut atas dasar Indonesia sebagai pewaris dari Sultan Bulungan yang memiliki kekuasaan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.

Kedua, Malaysia juga mengajukan klaim atas dasar effective occupation. Bukti-bukti yang diajukan Malaysia berupa penguasaan dan pengelolaan penyu dan pengambilan telur penyu oleh Inggris, pembentukan wilayah suaka burung di Sipadan pada 1933 dan pembangunan mercusuar di kedua pulau oleh otoritas kolonial British North Borneo pada tahun 1960-an yang kemudian dirawat secara berkala oleh Pemerintah Malaysia.

Ketiga, Indonesia mengajukan bukti-bukti effective occupation yang ditunjukkan oleh Belanda dan Indonesia sebagai dasar untuk membuktikan adanya kekuasaan Indonesia (atau Belanda) terhadap Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Bentuk-bentuk effective occupation yang diajukan sebagai bukti oleh Indonesia adalah patroli Angkatan Laut Belanda pada tahun 1921 dan juga TNI Angkatan Laut sesudah Indonesia merdeka.

Indonesia juga merujuk pada aktivitas nelayan di perairan sekitar Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan sebagai bukti adanya effective occupation. Putusan Mahkamah Internasional Mahkamah Internasional menolak argumentasi pertama Indonesia mengenai Konvensi 1891. Dalam pandangan mahkamah, Konvensi 1891 tidak dimaksudkan untuk mendelimitasi batas di wilayah perairan sebelah timur pulau Kalimantan dan Sebatik atau menetapkan kedaulatan atas pulau-pulau lainnya.

Dengan demikian, argumentasi Indonesia bahwa garis 4˚ 10’LU adalah suatu allocation line ditolak. Mahkamah Internasional juga menolak kedua klaim succession Indonesia dan Malaysia. Kedua negara dianggap tidak bisa memberikan bukti kuat bahwa Sultan Bulungan ataupun Sultan Sulu menguasai kedua pulau tersebut. Dengan demikian, sekalipun Indonesia dan Malaysia dianggap sebagai penerus dari kedua kesultanan tersebut, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak termasuk wilayah yang kemudian diwariskan kepada Indonesia dan Malaysia.

Pada akhirnya, Mahkamah Internasional menggunakan analisis terhadap klaim effective occupation dan berkesimpulan bahwa klaim yang diajukan oleh Malaysia lebih menunjukkan bukti adanya effective administration atas kedua pulau tersebut dibandingkan klaim yang diajukan oleh Indonesia. Secara khusus ditegaskan bahwa effective occupation harus memiliki karakteristik legislatif dan pengaturan. Dalam hal ini, Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan Belanda atau Indonesia yang memenuhi kriteria tersebut, terlebih lagi Indonesia tidak memasukkan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke dalam Perppu Nomor 4 Tahun 1960.

Jadi menurut saya keputusan indonesia dan malaysia untuk menyelesaikan kasus sipadan dan ligitan melalui International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional (MI) adalah putusan yang tepat agar tidak terjadinya konflik yang berkepanjangan. Dan dengan cara ini sangketa diperiksa dan diputus oleh para hakim yang diakui kepakarannya dalam hukum internasional.

Walaupun pada putusan akhir yang menangkan Malaysia. Dalam hal ini pun menurut saya MI sudah cukup adil karena memutuskan secara obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitann dengan menerapkan doktrin effective occupation yang artinya suatu wilayah dapat diklaim atas dasar pendudukan secara fisik.doktrin yang digunakan merupakan sumber hukum internasional secara sekunder.

Karena Malaysia telah dapat menunjukkan pelaksanaan okupasi secara efektif terhadap pulau Sipadan dan Ligitan. Misalnya dengan adanya pengaturan mengenai pengurusan penyu, pembentukan usaha penangkaran burung serta membangun beberapa mercusuar jadi Malaysia lah yang telah memberdayakan kedua pulau ini. Meski secara historis masuk wilayah indonesia. Namun indonesia tidak ada satu pun perundang-undangan yang mengatur tentang Sipadan-Ligitan.

Terlebih lagi kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4 Tahun 1970 yang menarik garis pangkal bagi wilayah Indonesia tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai tititktitik garis pangkal . Dari kasus ini saya juga mendapatkan kesimpulan bahwa kedepannya pemerintah indonesia harus lebih memperhatikan pengelolaan dan pengawasan terhadap pulau-pulau terluar nusantara. Terutama yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.

Daftar Pustaka: “putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan” [diakses pada 13 oktober 2020] “Sangketa Sipadan dan Ligitan” [diakses pada 13 oktober 2020] “Memahami Sangketa Sipada-Ligitan”< https://kumparan.com/gulardinurbintoro/memahami-sengketa-ligitan-sipadan-1qg1xz8wqnw/full> [diakses pada 14 oktober 2020] “kasus sengketa pulau sipadan-ligitan antara indonesia-malaysia dalam ICJ” < https://tyokronisilicus.wordpress.com/2011/12/15/kasus-sengketa-pulau-sipadan-ligitanantara-indonesia-malaysia-dalam-icj/ > [diakses pada 14 oktober 2