Aksi Matikan Mikrofon, Oposisi Tak Boleh Interupsi?

ilustrasi merdeka

Oleh : Nisa Andini Puri (Mahasiswi Bengkulu)
Bengkulutoday.com - Aksi Ketua DPR RI Puan Maharani kembali mengundang kontroversi. Politisi PDIP itu lagi-lagi mematikan mikrofon dalam sidang paripurna.  Aksi Puan yang mematikan mikrofon anggota DPR saat rapat paripurna bukan kali pertama. Melansir menit.co.id, 26/5/2022, rupanya hal tersebut sudah tiga kali ia lakukan.

Pertama, saat Puan memimpin rapat pengesahan UU Cipta Kerja Oktober 2021 lalu. Ketika itu sudah hampir tiba pada pengambilan keputusan, tiba-tiba salah satu anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat Irwan Fencho mengajukan interupsi. Sayangnya, mikrofon Irwan mati dan ia tidak bisa mengajukan interupsi. Sebuah tangkapan kamera memperlihatkan jika Puanlah yang mematikan mikrofonnya. Meski menuai kritik dari publik, bagi sebagian pihak, aksi Puan itu dianggap sebagai penertiban jalannya rapat karena Fraksi Demokrat telah diberikan kesempatan interupsi sebanyak tiga kali.

Kedua, November 2021 lalu, Puan memimpin rapat dengan agenda Persetujuan Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI. Saat itu, Anggota Komisi X dari Fraksi PKS Fahmi Alaydroes mengajukan interupsi, tetapi Puan tidak menggubris. Dengan alasan keterbatasan waktu, ia mematikan mikrofon Fahmi dan langsung menutup jalannya rapat.

Ketiga, dengan alasan yang sama, Puan mematikan mikrofon anggota DPR RI dari Fraksi PKS Amin AK yang tengah menyampaikan interupsinya pada rapat paripurna, Selasa (24/5/2022). Saat itu, anggota DPR RI Fraksi PKS Amin Ak tengah menyampaikan interupsi dan menyinggung ihwal penting. Amin mempersoalkan kekosongan hukum ketiadaan pengaturan mengenai LGBT dalam KUHP.

Seperti yang kita ketahui akhir-akhir ini kaum LGBT sudah semakin banyak mendapatkan panggung di Indonesia, mereka dengan leluasa dan terang-terangan mengumbar jati diri dikhalayak, bahkan Kedubes Inggris di Indonesia dengan berani mengibarkan bendera kaum pelangi di depan gedungnya dan tidak ada sedikitpun tindakan yang diambil oleh pemerintah hingga seolah-olah ikut meng-amini aktifitas tersebut.

Mau seperti apa generasi kita kedepannya jika dari sekarang kita tidak menjaga mereka dari kerusakan-kerusakan moral dan norma-norma agama ? Dan yang akan terjadi kemudian adalah hancurnya Negara seiring hancurnya mereka yang menjadi generasi penerus bangsa. Aksi Ketua DPR RI tersebut jelas mengundang kontroversi, apalagi hal itu bukan kali pertama dilakukan. Bagaimana tidak, Politisi PDIP itu lagi-lagi mematikan mikrofon dalam sidang paripurna. Perbuatan itu jelas nampak kurang etis dilakukan, sebab  anggota DPR tersebut masih sementara berbicara. Apakah karena oposisi tak boleh interupsi?

Status oposisi, baik dalam sistem kapitalisme maupun sistem Islam, sama-sama tidak bersifat permanen. Bedanya, dalam kapitalisme demokrasi, oposisi menempatkan dirinya di luar kabinet petahanan. Mereka cenderung bersuara atas nama kepentingan kelompoknya sehingga tidak jarang menyulam kesempatan kosong manakala berhadapan dengan pihak incumbent yang tentu saja juga kukuh mempertahankan singgasananya.

Sudah rahasia umum bahwa dalam sistem demokrasi terjadi perebutan kekuasaan antara pihak petahanan dan oposisi. Petahana berusaha membendung laju oposisi, sedangkan oposisi berusaha mengkritik kebijakan petahanan. Perseteruan politis ini merupakan gesekan yang sulit terhindarkan. Meski demikian, posisi oposisi dalam demokrasi tidak permanen. Bisa saja berpindah sesuai pihak yang berkepentingan. Hari ini mungkin berseberangan, besok bisa saja jadi kawan. Tidak ada teman atau lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan hakiki.

Sedangkan dalam Islam, label oposisi tidak terlalu berpengaruh. Bahkan, jika memang pendapat atau kritik seseorang itu bertumpu pada standar syariat, ia wajib didengar. Tidak boleh melihat apakah ia dari pihak petahana atau oposisi, ataukah ia dari pihak penguasa atau rakyat biasa. Khalifah Umar bin Khaththab pernah dikritik seorang perempuan setelah beliau menyampaikan ketentuan terkait uang mahar. Peristiwa tersebut terekam dalam kitab tafsir Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur karya Syekh Jalaluddin as-Suyuthi.

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Beliau lalu berpidato di hadapan khalayak ramai, “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri karena mahar Rasulullah saw. dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tidak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”
Namun, rupanya beleid ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Seseorang di antara mereka pun menyampaikan protes. “Wahai Amirulmukminin, engkau melarang orang-orang memberikan mahar lebih dari 400 dirham kepada istri-istri mereka?”
Khalifah Umar pun menjawab, “Iya.”

Wanita itu lalu berkata, “Wahai Umar, engkau tidak berhak menetapkan demikian. Bukankah engkau telah mendengar firman Allah Swt.?”
Wanita itu lalu membaca QS An-Nisa: 20, “Kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar). Oleh karena itu, janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun.”

Lantas, bagaimana respons Khalifah Umar? Masyaallah, ketika diingatkan dengan ayat Al-Qur’an itu, Umar langsung beristigfar lalu berkata, “Wanita itu benar dan Umar yang salah.”

Dari kisah di atas, pejabat publik seyogianya dapat dengan lapang dada mendengar saran  bahkan kritikan dari berbagai pihak. Karena itu, sudah sepatutnya pemimpin dapat memberi teladan bagi pegawai di bawahnya atau masyarakatnya secara umum bahwa pemimpin tidak hanya ingin didengar, tapi juga mau mendengar serta memberi kesempatan kepada siapa saja untuk menyampaikan pendapat, kritik, atau argumen terkait regulasi yang dirumuskannya. Asalkan standarnya syariat, semua “interupsi” itu insyaallah tujuannya adalah perbaikan. Wallahu a'lam bissawab